Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita


Pembayaran Uang Pengganti Korupsi Alokasi Dana Desa dan Dana Desa

July 11, 2020 Last Updated 2020-07-11T12:48:28Z


Tindak pidana korupsi merupakan sebuah kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crime). Disebut demikian karena dampak dari perbuatan hukum tersebut dapat menimbulkan disparitas ekonomi bahkan krisis ekonomi secara nasional. Pada akhirnya terjadi instabilitas perekonomian bagi seluruh masyarakat khususnya di Indonesia. Memang, tindak pidana korupsi tidaklah sama dengan tindak pidana lainnya. Sebab pelakunya merupakan pejabat atau pemegang kekuasaan yang seyogianya menjunjung tinggi nilai etika profesinya. Bahkan seorang pejabat sudah barang tentu mempunyai integritas yang baik. Misalnya, seorang Kepala Desa atau pejabat lainnya yang dipilih langsung atau tidak langsung oleh rakyat pada negara demokrasi. Olehnya itu, tindak pidana korupsi ini menjadi kejahatan luar biasa, sebab ada kepercayaan publik yang dikorbankan. Bahkan kepentingan masyarakat menjadi bias dalam persoalan ini.

Berdasarkan data dari Indonesian Corruption Watch (ICW), mencatat 271 kasus korupsi ditangani pada 2019 dengan total 580 tersangka dan jumlah kerugian negara mencapai Rp. 8,04 triliun. Kasus tersebut berasal atau yang ditangani oleh KPK, Kejaksaan RI, dan Polri selama 1 Januari 2019 hingga 31 Desember 2019. Detailnya, KPK tercatat menangani 62 kasus dengan 155 tersangka, Kejaksaan RI menangani 109 kasus dengan 216 tersangka, dan Polri menangani 100 kasus dengan 209 tersangka. Modus yang paling banyak terjadi adalah kasus suap, dengan menduduki posisi pertama dari 12 kasus korupsi lainnya (Sumber: https://tirto.id/).

ICW mengkalkulasikan total modus suap sepanjang tahun 2019 yaitu sebanyak 51 tindak pidana dengan nilai Rp. 169,5 miliar. Modus lainnya yakni mark up atau penggelembungan anggaran sebanyak 41 kasus; penyalahgunaan anggaran 39 kasus; penggelapan 35 kasus; penyalahgunaan wewenang 30 kasus; proyek fiktif 22 kasus; laporan fiktif sebanyak 22 kasus; pungutan liar 11 kasus; gratifikasi 7 kasus; pemerasan 7 kasus; pemotongan 5 kasus; dan mark down 1 kasus (Sumber: https://tirto.id/).

Sedangkan korupsi Dana Desa dicatat oleh ICW paling banyak terjadi pada tahun 2019. Menurut data ICW menunjukkan bahwa terdapat 46 kasus korupsi anggaran desa dari 271 kasus korupsi selama 2019. Dari korupsi ini negara mengalami kerugian mencapai Rp. 32,3 Miliar (Sumber: https//nasional.kompas.com/).

Jika dilihat dari data tersebut, memang sangat pelik persoalan tindak pidana korupsi tersebut. Padahal ancaman pidana bagi pelaku korupsi sangat berat. Hal ini terlihat dalam ketentuan Pasal 2 ayat 2 UU 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Olehnya itu, jika para calon koruptor dan koruptor memahami ketentuan tersebut, mestinya menghindari perilaku tercela itu. Karena mereka harus malu terhadap dirinya sendiri dan jabatannya. Khususnya dalam konteks korupsi Alokasi Dana Desa dan Dana Desa.

Konsepsi Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD)

Secara Yuridis, pengertian tentang Alokasi Dana Desa (ADD) termaktub dalam Pasal 1 ayat (9) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2014 Sebagaimana Telah Diubah Dengan PP No. 47 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang berbunyi: “Alokasi Dana Desa adalah dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota setelah dikurangi Dana Alokasi khusus”.

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengalokasikan dalam APBD Kabupaten/Kota ADD setiap tahun anggaran. ADD tersebut paling sedikit 10% dari dana perimbangan yang telah diterima Kabupaten/Kota dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Dalam rangka pengelolaan keuangan desa, kepala desa melimpahkan sebagian kewenangan kepada perangkat desa yang ditunjuk.

Bagi Kabupaten/Kota yang tidak memberikan ADD pemerintah dapat melakukan penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang seharusnya disalurkan ke desa. ADD dibagi kepada setiap desa dengan mempertimbangkan kebutuhan pengasilan tetap kepala desa dan perangkat desa dan jumlah penduduk desa, angka kemiskinan desa, luas wilayah desa, dan tingkat kesulitan geografis desa. Ketentuan mengenai pengalokasian ADD dan pembagian ADD kepada setiap desa ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota.

Selanjutnya, terkait Dana Desa (DD) diatur dalam Pasal 1 ayat (8) PP No. 43 Tahun 2014 Sebagaimana Telah Diubah Dengan PP No. 47 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang berbunyi: “Dana Desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat”.

Pada alur penganggaran, pengalokasian dan penyaluran DD secara rinci diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.07/2016 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan dan evaluasi Dana Desa dan PP No. 40 Thn 2014 sebagaimana telah diubah dengan PP No.22 Thn 2015 dan PP No. 8 Thn 2016 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Negara.

Pembayaran Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi ADD dan DD

Perlu dijelaskan terlebih dahulu, bahwa pembayaran uang pengganti merupakan pidana tambahan dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf b jo. ayat (2) jo. ayat (3) UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pidana tambahan ini tidak menggugurkan pidana pokoknya, yakni (1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah; b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. (2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka hartanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. (3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Ketentuan Pasal 18 Ayat (1) huruf b di atas, tidak menyebutkan pengertian uang pengganti. Namun, dalam arti “diperoleh” terdakwa mengandung arti sebagai harta yang “didapat” dan “dinikmati” terdakwa dari usahanya melakukan korupsi. Maka uang pengganti dibebankan kepada yang bersangkutan hanya sebesar uang yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Ketentuan ini, tidak menyinggung tentang besarnya kerugian negara, sehingga uang pengganti sebagai pidana tambahan tidak ada kaitannya dengan besarnya kerugian negara. Dengan demikian, maksud dan tujuan diterapkannya uang pengganti sebagai hukuman tambahan adalah bukan untuk memulihkan besarnya kerugian negara, tetapi semata-mata untuk merampas keuntungan yang diperoleh dari perbuatan yang dilakukan.

Indikator pengenaan uang pengganti sebagai pidana tambahan terhadap terdakwa tindak pidana korupsi didasarkan pada penafsiran Majelis Hakim atas kontribusi terdakwa dalam menikmati sebagian atau seluruhnya kerugian keuangan negara yang nyata terjadi dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum dipersidangan. Dalam penentuan jumlah atau besaran uang pengganti yang dibebankan terhadap terdakwa didasarkan pada hasil audit dari badan atau lembaga yang diberikan kewenangan oleh undang-undang dalam menhitung kerugian negara.

Menurut sifatnya, pidana tambahan menurut Andi Hamzah dalam bukunya bahwa “pidana tambahan dijatuhkan apabila terdapat keterkaitan pelaku tindak pidana dengan barang yang menjadi obyek tindak pidana, seperti keterkaitan dengan barang yang diperoleh atau digunakan dalam melakukan tindak pidana korupsi, maupun keterkaitan dengan perusahaan yang menjadi bagian dalam tindak pidana korupsi. Pidana tambahan sifatnya mengikuti pidana pokok, dalam arti pidana tambahan tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya pidana pokok yang mengikutinya, sehingga sifatnya imperative”.

Pada mekanisme pelaksanaan pembayaran uang pengganti dilakukan oleh lembaga kejaksaan sebagai bagian dari eksekusi putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pada putusan termuat jumlah yang dibebankan sampai subsidair pidana penjara uang pengganti bila harta bendanya tidak cukup menutupi uang pengganti yang dibebankan setelah disita dan dilelang oleh jaksa yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya dan lamanya pidana penjara sebagai subsidair uang pengganti tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. Kewenangan eksekutor tersebut berlandaskan Pasal 1 butir 6 huruf a dan b KUHAP serta Pasal 6 dan Pasal 30 huruf b UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Negeri Indonesia.

Diundangkannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, mengatur secara umum Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD) dan definisi lebih lanjut ADD dan DD terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Bahwa Alokasi Dana Desa adalah dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota setelah dikurangi Dana Alokasi khusus.

Sedangkan Dana Desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Pada ketentuan ini, tidak terdapat saksi pidana bila terjadi kerugian negara pada penggunaan ADD dan DD.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa tindak pidana korupsi Alokasi Dana Desa dan Dana Desa pada dasarnya bukan merupakan hal baru, meskipun Dana Desa sendiri masih baru dalam kontestasi politik di Indonesia. Pertama kali dikumandakan pada Pemerintahan Joko Widodo. Namun dari beberapa data yang terhimpun telah banyak Kepala Desa menjadi koruptor semenjak digelontorkannya Dana Desa tersebut. Pada akhirnya, mekanisme pengembalian uang pengganti atas kerugian negara dari perbuatan korupsi Alokasi Dana Desa dan Dana Desa sudah jelas sedemikian rupa. Tentunya hal ini perlu diperhatikan oleh seluruh pejabat dan penguasa bangsa ini. Agar tidak serta merta dalam memanfaatkan jabatannya demi kepentingan pribadi, dan melupakan kepentingan masyarakat luas.


Penulis : M. Aris Munandar, SH.
(Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin, dan Aktivis Hak Asasi Manusia)

*(red)


×
Berita Terbaru Update