Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita


PILKADA TIDAK LANGSUNG BUKTI KEMUNDURAN DEMOKRASI

November 21, 2019 Last Updated 2019-12-25T15:03:16Z

Demokrasi diartikan sebagai kekuasaan yang bersumber dari rakyat dan bentuk pengelolaan kekuasaan di dasarkan pada kepentingan rakyat atau kehendak rakyat sebagai manifestasi perwujudan kedaulatan rakyat.

74 Tahun perjalanan negara Indonesia sedikit atau banyaknya kita masih dalam transisi belajar mengaktualisasikan demokrasi yang sesuai dengan prinsip atau dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yakini Pancasila dan UUD 1945.

Wacana Pemerintah bersama DPR ingin mengubah sitem pemilihan kepala daerah (pilkada) yang tadinya dipilih langsung dari rakyat kini akan dipilih oleh DPRD. Sebetulnya wacana ini telah dilakukan di akhir era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2014, kala itu Pemerintah bersama DPR sepakat mengganti tata cara pemilihan kepala daerah melalui DPRD.

Tapi Undang-undang Nomor 22 tahun 2014 ditentang public dan menuai kontroversial sehingga akhirnya dibatalkan lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2014 yang kemudian disahkan menjadi Undang-undang nomor 1 tahun 2015 di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Kini Periode kedua Jokowi Dodo sebagai Presiden Melalui Mentri dalam negeri (Mendagri) dan DPR RI komisi 2 tanggal 11 November 2019 telah sepakat akan merubah sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Hal ini tentu mengundang banyak pertanyaan dan kritikan.

Rencana mengubah sitem pemilihan kapala daerah melalui DPRD adalah sesuatu yang dapat mengkebiri hak demokrasi rakyat. dalam menentukan pilihan politiknya yakni memilih kepala daerah. Sebab belajar dari history demokrasi Indonesia kita pernah menerapkan demokrasi keterwakilan yakni pemilihannya tidak dipilih langsung oleh rakyat.

Sistem keterwakilan ini tidak dapat mengakomodir suara ataupun kehendaak rakyat sehingga format demokrasi inilah yang kemudian diubah dengan dalil bahwa untuk lebih menjamin kedaulatan rakyat maka dalam momentum politik, rakyat diberi hak untuk dapat menentukan pilihan politiknya sehingga konsepsi ini disebut sebagai Demokrasi langsung.

Upaya merespon perkembangan demokrasi, dari demokrasi keterwakilan menuju demokrasi langsung adalah bentuk dialektika demokrasi indonesia dari kehidupan berbangsa dan benegara, maka dari itu dengan mengubahnya sistem pemilihan kepala daerah yang tadinya dapat dipilih langsung olah rakyat (demokrasi langsung), menjadi pilihan DPRD (demorasi keterwakilan), adalah wujud kemunduran demokrasi yang nyata sebab dengan sistem pemilihan keterwakilan ini, partisipasi rakyat dalam hal ini adalah hak politik akan hilang, secara otomatis rakyat tidak dapat lagi melakukan kontrol politik terhadap kepala daerah, sebab dari teori pemilihan menyatakan siapa yang memilih yang terpilih akan bertanggung jawab terhadap pemilihnya. Nah jika DPRD memilih kepala daerah maka kepala daerah yang terpilih akan bertanggung jawab kepada DPRD.

Hal ini menjadi syarat akan terjadinya pengabaian rakyat dan cenderung kepala daerah lebih besar memperhatikan dan takut kepada DPRD ketimbang rakyat sebab DPRD lah yang memilihnya. Dengan sistem ini DPRD yang tadinya mewakili kepentingan rakyat di Parlemen justru dapat berubah menjadi kepentingan kelompok elit dan melanggengkan kekuasaan eksekutif dan legislative, padahal fungsi DPRD adalah mesin pengawasan dan kritik terhadap pemerintah (kepala daerah) yang kebijakannya tidak pro rakyat.

Alasan kuat Pemerintah dan DPR RI ingin mengubah sitem pemilihan kepala daerah yakni bahwa maraknya kepala daerah tersandung korupsi transaksional akibat besarannya biaya yang dikeluarkan pada saat kampanye politik sebelum terpilih sehingga pada saat terpilih maka kepala daerah lebih focus untuk mengembalikan uang hasil dari kampanye, dan maraknya konflik local akibat soal pilihan rakyat serta terus membudaya praktek mony politik (politik uang). Itulah beberapa alasan sehingga Pemerintah ingin merubah sistem pemilihan kepala daerah.

Dari beberapa alasan tersebut jelas menggambarkan bahwa akibat dari pemilihan langsung yang bermasalah, rakyat dijadikan tumbal dengan rencana menghapuskan hak pilih terhadap kepala daerah. Sebetulnya apapun bentuk dan kekurangan sistem pemilihan langsung tidak boleh rakyat di hilangkan hak politiknya. Seharusnya dengan beberapa alasan pemerintah ingin merubah sistem pemilihan kepala daerah harus dilihat secara kelembagaan, misalnya berbiacara soal politik maka paling tidak ada tiga komponen kelembagaan yang menstinya menjadi titik focus seperti, KPU, BAWASLU dan Partai Politik. 
Pertama apakah KPU sebagai penyelenggara pemilihan itu sudah berjalan dengan baik, Kedua apakah Bawaslu sudah efektif dalam melakukan pengawasan dan yang Ketiga apakah Partai politik sudah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya yakni salah satunya memberikan pendidikan politik kepada rakyat agar rakyat cerdas dalam memilih dan mahar politik bagi para calon yang diusung itu tidak menggunakan mahar politik lagi, tentu semua itu menjadi polemik.

Olehnya bicara soal integritas dan kualitas demokrasi yang baik ditentukan dari ketiga kelembagaan KPU, BAWASLU dan Partai politik. nah jika dari ketiganya sudah efektif maka soal pemilihan langsung pasti akan berjalan dengan baik pula. Bukan malah hak demokrasi rakyat yang harus dikeberi. Tapi pemerintah mestinya memperbaiki sistem kelembagaan yang berkaitan erat soal pemilihan sebab konsepsi demokrasi dipengaruhi besar oleh ketiganya.

Penulis : Andi Cibu Mattingara, SH
(Mahasiswa Pascasarjana UMI)


×
Berita Terbaru Update