Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita


Sang Ekonom Marxis Asal Mesir

September 02, 2019 Last Updated 2020-09-03T12:13:18Z



Seorang penganut marxis yang juga merupakan tokoh besar anti-kapitalisme dan anti-imperialisme. Hal ini menyebabkan beliau di daulat menjadi ketua dari Third World Forum dan juga sebagai pimpinan utama dari World Forum of Alternatives. Ia juga telah lama dikenal sebagai guru besar ilmu ekonomi politik, ia mengajar di Universitas Poitiers di Perancis, juga di Dakar, Senegal.

Nama : Samir Amin
TTL : Kairo, Mesir pada 3 September 1931. Ayahnya adalah orang Mesir sementara ibunya orang Perancis.
Pendidikan : Sejak kecil hingga remaja ia belajar di sekolah Perancis di Port Said(Mesir), kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Perancis dan mendapatkan diploma PhD ilmu politik tahun 1952, diploma ilmu statistic tahun 1956, serta ilmu ekonomi tahun 1957.

Samir Amin adalah seorang pemikir marxis yang selama ini sering menelukan karya-karya besar tentang hukum, masyarakat sipil, sosialisme, pembangunan ekonomi di Negara-negara Afrika dan Negara-negara Arab atau Islam.

Dia juga dikenal sebagai seorang pengkritik kuat kapitalisme, seorang ekonom politik radikal, dan salah satu penyokong fanatic aktivitas anti-globalisasi. Umumnya ia menerapkan teori-teori pembangunan marxis dalam usaha menjelaskan konsekuensi ekonomi kapitalis, pembangunan politik, budaya militer serta ekspansi ke Negara-negara berkembang.
Sumbangan Pemikiran Samir Amin:

Samir Amin menawarkan poli-sentralitas sebagai sebuah alternative terhadap pengecualian terhadap neo-liberal dan polarisasi pembangunan, yang juga dikenal sebagai maldevelopment.

Ia juga meninjau kembali gagasan globalisasi polisentris dan berpendapat bahwa diperlukan upaya untuk memperbaharui kembali persfektif sosialisme global agar manusia mencapai era proyek globalisasi alternative yang manusiawi.

Ia berpendapat bahwa kapitalisme sudah usang karena telah memasuki kondisi kekacauan permanen, memicu transisi panjang terhadap sosialisme atau malapetaka dan bunuh diri kemanusiaan.

Aplikasi kritis dan inovatif teori marxis klasik akan menjelaskan keterbelakangan atau kekeliruan pembangunan (maldevelopment) sebagai fenomena yang dibentuk oleh system kapitalis, mengimplikasikan bahwa nasib Negara-negara terbelakang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan di dunia kapitalis.

Keterbelakangan pembangunan merupakan produk neo-kolonialisme sebagaimana ditransformasikan selama dekade-dekade akhir abad ke-20 ke dalam apa yang digambarkannya sebagai kapitalisme neo-liberal global, yang membawa lambing dan asal usul keusangan kapitalisme.

Ketidakberhubungan dalam dunia yang poli-sentris dan meregional didasarkan pada kerjasama antara Negara-negara autosentris yang mampu mengarahkan perekonomian mereka agar tidak terkejar oleh kapitalisme usang tetapi untuk menciptakan alternative bagi hegemoninya yang terbaik dan mempercayai kematian yang terburuk.

Transformasi tatanan global saat ini dimungkinkan hanya melalui pembangunan konvergensi di dalam keanekaragaman pada suatu masyarakat dengan keadilan global dimana pergerakan social menciptakan ruang bagi partisipasi masyarakat.
Ia juga mempunyai teori mengenai pertukaran yang tak seimbang (unqual exchange) dalam skala global.

Menurut Samir Amin, Negara-negara bekas jajahan yang sedang berkembang harus bisa belajar dari perekonomian Negara-negara industry maju kini pada awal pembangunannya, yaitu membagi strategi pembangunan menjadi dua tahap. Tahap pertama, memfokuskan prioritas pada produksi barang-barang kebutuhan, tahap kedua baru produksi komoditi ekspor dan barang-barang kebutuhan sekunder dan menengah ke atas.

Ia juga ikut memperkuat thesis ketergantungan. Dalam kajian thesis ketergantungan Samir Amin mengemukakan sembilan thesis utama. Karya-karya Samir Amin:

1.The Maghreb in the Modern Word(1970)
2.Migrasi Modern di Afrika Barat(1972), studi yang dipresentasikan dan didiskusikan pada seminar Afrika Internasional ke-11
3.Neo-colonialisme in West Africa (1973)
4.The Arab Nation: Nationalism and Class Struggle(1976)
5.Imperialism and Unequal Development(1977)
6.The Arab Economy Today (1980)
7.Maldevelopment: Anatomy of a Global Failure (1990)
8.Transforming the Revolution: Sosial Movementsand the World System (1990)
9.The Future Maoism (1981)
10.Capitalism in the Age of Globalisation (1997)
11.Specters of Capitalism: A Critique of Current Intellectual Fashions (1998)
12.Obsolescent of Capitalism: Contemporary Politics and Global Disorder (2003)

Berikut wawancara yang dilansir dari indoprogress, mengenai revolusi Mesir dan pelajaran yang dapat ditarik bagi rakyat Indonesia. Berikut petikannya:

Muhammad Al-Fayyadl : Saya kontributor untuk sebuah jurnal yang dikelola oleh para aktivis kiri di Indonesia, Marxis atau neo-Marxis, dari kiri jauh sampai kiri tengah, bernama IndoPROGRESS. Kami akan senang bila kami dapat mewawancarai Anda mengenai pandangan Anda tentang revolusi Mesir. Pelajaran-pelajaran apa saja yang bisa kita tarik dari kasus Mesir untuk rakyat Indonesia?

Samir Amin : Ya, ada dua pelajaran besar yang bisa ditarik, karena kejatuhan Mobarak. Perlu ditekankan bahwa pertama-tama, lalu berikutnya kejatuhan Morsi, adalah hasil dari perlawanan rakyat Mesir, dan dari gerakan perlawanan yang terus membesar. Gerakan perlawanan yang berujung pada kejatuhan Morsi, bahkan lebih besar dan lebih kuat daripada gerakan perlawanan yang berujung pada kejatuhan Mobarak.

"Kita bisa memberikan angkanya. Demonstrasi terbesar menjelang kejatuhan Mobarak, menghimpun (di seluruh kota di Mesir) sekitar 15 juta demonstran. Demonstrasi 30 Juni yang berujung pada kejatuhan Morsi, menghimpun lebih dari 30 juta demonstran. Bahkan untuk sebuah negeri dengan 80 juta penduduk, menyebut 30 juta demonstran pada jam yang sama berarti menyebut seluruh penduduk negeri ikut berdemonstrasi," ucap Samir.

Samir Amin juga menegaskan "Gerakan semacam ini adalah gerakan yang praktis meliputi seluruh negeri, seluruh rakyat. Dan tentu saja begitu besar sehingga gerakan itu mampu menghimpun berbagai kepentingan sosial yang berbeda ; ada kepentingan-kepentingan yang berkonflik, visi-visi politik yang berbeda, dan terkadang dapat didamaikan. Dalam gerakan raksasa itu, dengan demikian, terdapat kaum kiri, kaum kanan, dan kaum tengah-kanan," tuturnya.

Kaum kiri jauh lebih kuat daripada kelihatannya. Tentu saja, kaum kiri yang terorganisir dalam organisasi-organisasi komunis menghimpun para aktivis dari sekitar 50 ribuan aktivis. Jumlah itu barangkali kecil tetapi itu juga jumlah yang signifikan, karena ia menyangkut pengkaderan.

Tradisi komunis itu di Mesir banyak memiliki prestise, dan sangat dihormati. Ketika kita menyebut ‘komunis,’ orang-orang tidak melihat pada diri anda sesuatu yang menakutkan, tetapi sebaliknya, seorang pejuang yang berani dalam pembebasan nasional dan kemajuan sosial. Kaum kiri juga menghimpun serikat-serikat kerja yang sangat kuat di Mesir dengan 5 juta orang yang terorganisir dan kiri, walaupun dalam situasi terkini mereka punya alasan untuk itu mereka tidak ingin lagi menjadi ‘mata rantai transmisi,’ begitu kita menyebutnya dulu, dari garis politik yang didikte dari luar oleh partai politik.

Di dalam kaum kiri tersebut, terdapat sehimpunan petani dalam jumlah signifikan, para petani kecil yang berlawan—dan perlawanan itu keras, setiap hari terdapat korban—untuk mempertahankan kepemilikan kecil yang terancam oleh ekspansi kapitalis yang liar hari ini. Di dalam kaum kiri tersebut juga terdapat gerakan populer kaum perempuan. Terdapat dua gerakan perempuan: gerakan perempuan dari kelas menengah terdidik yang perhatian utamanya adalah pada hak-hak perempuan dan demokrasi, dan gerakan perempuan popular yang menaruh perhatian lebih jauh pada kemelaratan dan penindasan.

Di dalam kaum kiri tersebut juga terdapat dua gerakan besar kaum muda. Saya melihat ada empat gerakan kaum muda; masing-masing gerakan tersebut menghimpun 300 sampai 400 ribu aktivis terorganisir—itu bukan jumlah yang kecil. Dua dari gerakan-gerakan tersebut benar-benar kiri; dengan kata lain, memiliki, seperti sering mereka katakan, orientasi pada demokratisasi masyarakat, keadilan sosial, dan kemerdekaan nasional.

Kemudian, terdapat kaum tengah. Di dalam kaum tengah, kita memiliki sejumlah nama besar organisasi dan terkadang partai politik, bukan dari borjuasi tetapi dari kelas menengah, orang-orang terdidik—para dokter, dosen, insinyur, pengacara, karyawan eksekutif administrasi negara dan ekonomi, dan seterusnya. Mereka bukan mayoritas di dalam bangsa Mesir; kelas menengah mungkin sekitar 15 sampai 20 persen. Tetapi pengaruh mereka sangat kuat, karena orang-orang yang terdidik itu memiliki jabatan-jabatan penting.

Mereka merepresentasikan kaum tengah, dalam arti bahwa tuntutan mereka adalah tuntutan-tuntutan yang mengarah lebih kepada persoalan-persoalan demokratis, yang tidak dapat direduksi menjadi soal-soal Pemilu, tentu saja persoalan demokratis dalam arti yang jauh lebih luas, demokratisasi masyarakat, bukan, sekali lagi, semata-mata Pemilu; lagi pula Pemilu adalah sesuatu yang sekunder dalam perjuangan demokratis, yang berarti perjuangan mendapatkan hak-hak sosial, hak-hak pribadi, hak-hak asasi manusia, hak asasi pribadi dan sosial, dan hak berorganisasi dan berjuang hak mogok kerja, dan seterusnya.

Tetapi juga, tanpa menjadi sosialis, mereka bukan sosialis. Dengan kata lain, mereka tidak secara prinsipil menentang kapitalisme, tetapi mereka pro terhadap keadilan sosial, yaitu terhadap model-model pembangunan yang tidak memiskinkan mayoritas rakyat. Dan mereka tentu saja pro terhadap kemerdekaan nasional, yakni terhadap keterputusan dari status aktual dari negara-klien Amerika Serikat dan negara-negara Teluk.

Organisasi-organisasi tersebut sangat kuat secara politis, lebih kuat daripada kaum kiri, karena organisasi-organisasi itu menyangkut kelas yang relatif terdidik, dan seterusnya. Selain itu juga terdapat organisasi-organisasi kepemudaan yang sangat dekat dengan mereka, yang merekrut dan menghimpun anak-anak yang lahir dari kelas sosial tersebut.

Lalu, jangan lupa, kaum kanan. Kaum kanan Mesir sangat kuat, dan eksis. Mereka adalah borjuasi, sebuah borjuasi komprador, tentu saja, tetapi borjuasi yang sebenarnya, yang memiliki akar historis dan berakar di pedesaan, kelas para petani kaya yang dulu kami sebut dalam jargon sebagai para ’koulak,’ mereka adalah basis dari Islam reaksioner Ikhwanul Muslimun. Mereka adalah inti sentral dari, katakanlah, pemanfaatan dangkal atas agama, seperti agama Katolik yang dimanfaatkan oleh kekuasaan di abad ke-19; itu bukanlah hal yang sama sekali baru. Tetapi itu adalah Islam politik reaksioner dari kelas reaksioner.

Nah, berhadapan dengan itu semua, terdapat militer. Dan di dalam militer, terdapat para komandan dan perwira. Para komandan, sejak era Sadat pada 1970, secara sistematis dibeli dan dikorupsi oleh Amerika Serikat. Dan kita tidak dapat berharap hal yang besar dari para jenderal dan komandan itu, termasuk Dewan Tertinggi (Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata, Le Conseil suprême des forces armées, MAF).

Tidak dapat. Tetapi militer di Mesir bukan semata-mata para jenderal, mereka juga adalah para kapten, dan tentara patuh kepada para kapten ini. Jika para kapten membangkang terhadap para jenderal, para jenderal tidak memiliki akses kepada para tentara. Dan terdapat kontradiksi di dalam militer, karena di antara para kapten, terdapat aliran-aliran yang menyatakan diri Nasserian tetapi ini menyangkut masa lalu, sebagaimana kita menyatakan diri Soekarnois di Indonesia saya akan menempatkan mereka di kubu tengah secara politis. Dengan demikian terdapat dua kubu tengah: tengah-kiri dan tengah-kanan.

Dengan kata lain, mereka, para kapten itu, tidak mesti anti-kapitalis, tetapi setidaknya mereka pro terhadap keadilan sosial. Mereka juga tidak terlalu demokrat. Nah, mengapa militer dapat merebut kemenangan populer yang berhasil menggulingkan Mobarak pada 2011 dan menggulingkan Morsi 3 Juli 2013 ? Jika Dewan Tertinggi melakukan hal tersebut, itu menunjukkan mereka cerdas. Karena militer mereka tahu bahwa komandan mereka.

Mereka tidak tunduk kepada Amerika, para sekutu Amerika akan melakukan fait accompli, orang-orang Amerika yang tidak cerdas: ‘Kamu mendukung Morsi habis-habisan,’ seperti propaganda Barat hari ini, seperti Hollande yang mengatakan bahwa ‘Presiden yang terpilih adalah Morsi,’ dan seterusnya, karena mereka tahu bahwa komandan mereka harus tampak seolah-olah bersama rakyat. Mereka tidak dapat melawan rakyat, dan tampak seolah-olah melawan rakyat dengan mendukung Morsi, melawan lebih dari 30 juta demonstran. Tentu saja operasi tersebut adalah operasi yang cerdas, dan memberi mereka sejumlah popularitas, kita tidak boleh mengabaikan itu.

Dan saat ini, dalam jangka pendek, terdapat sejumlah kebingungan, karena militer berada di pihak demonstran anti-Morsi—hal itu memberi mereka sedikit prestise. Tetapi peperangan terus berlanjut, terutama dalam hal: program apa yang akan bergulir. Kebijakan politik apa yang akan bergulir. Melanjutkan kebijakan politik neoliberal yang telah diikuti Morsi dengan tunduk kepada Amerika dan negara-negara Teluk, melanjutkan ketundukan kepada Amerika dan negara-negara Teluk, atau memulai kebijakan politik independen, sebuah kebijakan politik yang bersifat sosial ? Peperangan akan berlanjut di wilayah itu.

Saya percaya bahwa pelajaran yang bisa ditarik dari pengalaman Mesir bernilai bagi banyak negeri secara keseluruhan. Karena gerakan-gerakan perlawanan terhadap sistem yang sedang bekerja saat ini, yang secara keseluruhan tunduk kepada neoliberalisme dan sangat sering tunduk kepada Amerika, bukan secara eksklusif terjadi di Mesir atau di negara-negara Arab. Tetapi kelemahan dari gerakan-gerakan itu adalah ketidakmampuan mereka hingga hari ini—dan mungkin ini adalah kasus yang juga terjadi di tempat lain—mereka, kaum kiri dan tengah, untuk menemukan program bersama yang positif dan alternatif.

Muhammad Al-Fayyadl : Dengan demikian, selain gairah revolusi dan perubahan radikal masyarakat dan politik, pelajaran yang bisa kita tarik dari kasus Mesir adalah organisasi massif yang saat ini sedang dibangun oleh rakyat Mesir. Tetapi, yang membuat hal itu agak menakutkan bagi sebagian kami di Indonesia adalah ‘efek’ khaotiknya. Bagaimana Anda memandang hal itu?

Samir Amin : Tidak ada khaos dalam masyarakat Mesir. Ketika pers Barat menyebut sedang terjadi ‘perang sipil,’ itu adalah kebohongan. Tidak ada perang sipil. Karena terdapat 90 persen masyarakat di satu pihak melawan Ikhwanul Muslimun, yang 10 persen di lain pihak. Ikhwanul Muslimun sangat kecil di Mesir, tetapi mereka sangat terorganisir.

Mereka adalah 500 ribu orang yang teroganisir, termiliterisasi, didukung oleh milyaran dana negara-negara Teluk, didukung oleh CIA, dipersenjatai oleh Amerika, didukung oleh negara-negara Barat. Jadi mereka terus menebar ancaman; yang mereka organisir adalah terorisme. Ini bukan perang sipil. Mereka akan membom, meledakkan gereja-gereja, dan seterusnya. Hal-hal semacam itu.

Tentu saja setiap negeri memiliki karakteristik yang membedakan satu sama lain. Sebagai contoh, Mesir sangat berbeda dari Tunisia, berbeda dari Syria, masing-masing negara itu berbeda dari Indonesia. Tetapi terdapat fenomena umum, yaitu bahwa model pembangunan neoliberal yang berasosiasi dengan ketundukkan kepada kebijakan Amerika Serikat telah menggiring seluruhnya kepada petaka sosial, di mana-mana.

Dan pertanyaannya adalah bagaimana rakyat merespons petaka sosial dan politik tersebut dengan perlawanan yang sangat kuat dan dalam jumlah besar, dan dalam hal itu Indonesia bukan perkecualian. Tetapi di mana-mana kita menemukan, mungkin dalam bentuk yang berbeda-beda, karakteristik yang sama, yakni perlawanan kuat dan dalam jumlah besar, tetapi pada saat yang sama penyebaran aktor-aktor, kekuatan-kekuatan politik dan sosial, sebuah gerakan yang sangat luas yang menghimpun berbagai kepentingan sosial yang berbeda. Jadi, kelemahan dari seluruh gerakan tersebut adalah kristalisasinya terhadap suatu alternatif bersama dan positif.

sumber : indoprogress.com


×
Berita Terbaru Update