×

Iklan

Iklan

Indeks Berita


Kronologis Pembubaran Paksa Diskusi Publik LPM Daunjati

Kronologi Pembubaran Paksa dan Intimidasi

DISKUSI PUBLIK “NEW YORK AGREEMENT DAN SITUASI NDUGA”

yang diselenggarakan LPM Daunjati

Rabu, 14 Agustus 2019 – ISBI Bandung


Pukul 09.00 – 10.00 WIB


  • Pihak Babinsa menghubungi Rektor, Dr. Hj. Een Herdiani, S.Sen., M.Hum., mempersoalkan acara diskusi publik yang akan diadakan LPM Daunjati
  • Ada satu orang berkemeja biru, satu orang berjaket dengan kemeja kuning, satu orang berbadan tegap kaus hitam dengan topi rimba hitam dan satu orang berjaket dengan kaus polo di areal kampus, sekitaran Pos Satpam Gerbang Utama dan Gerbang Samping (Jalan Cijagra) yang belakangan ternyata merupakan intel/bagian dari Polisi, TNI dan Ormas FKPPI. Kami tidak tau pasti tepatnya latar belakang mereka, namun sejak Pukul 09.00 sampai sore harinya, mereka terus ada dan terlihat berkomunikasi dengan Polisi, TNI dan Ormas FKPPI.

Pukul 13.00 WIB


  • Seorang Babinsa mendatangi Pihak Kemahasiswaan, meminta agar dia dipertemukan dengan seluruh pengurus LPM Daunjati. Di waktu yang bersamaan, pengurus dan anggota LPM Daunjati sedang menyiapkan acara.

Pukul 13.30 WIB


  • Pihak Kemahasiswaan lalu meminta seluruh jajaran pengurus LPM Daunjati (tujuh orang) untuk menghadap Rektor. Permintaan tersebut sempat ditolak oleh jajaran pengurus LPM Daunjati bersama mahasiswa lainnya dan meminta, agar jika ingin ada pertemuan harus diadakan di ruang yang terbuka, Teras Sekretariat LPM Daunjati menjadi tempat yang diusulkan. Namun usulan itu ditolak, dengan alasan dari Pihak Kemahasiswaan:“Geus weh di luhur, mun aya nanaon urang nu pasang badan. Soalna ceuk polisi aya Ormas keur di jalan rek kadieu, bahaya mun di luar mah!” (Sudah lebih baik di atas [gedung rektorat], kalau ada apa-apa saya tanggung jawab. Informasi dari polisi, akan ada Ormas datang ke sini, mereka sedang di jalan, bahaya kalau ngobrolnya di luar!). Mendengar itu,
Ridwan Kamaludin, pimpinan umum LPM Daunjati, menerima permintaan Pihak Kemahasiswaan untuk menghadiri pertemuan tersebut di gedung rektorat.


Pukul 13.30 WIB


  • Penanyaan secara acak kepada mahasiswa yang sedang berkegiatan oleh Ormas dan Polisi berpakaian preman. Hal tersebut cukup mengganggu banyak mahasiswa karena penanyaan itu dilakukan di tengah proses akademik pasca sarjana, proses daftar ulang mahasiswa baru bersama orangtuanya dan kegiatan open rekruitmen himpunan. Bahkan ada satu himpunan yang sempat menghentikan kegiatannya karena terganggu oleh kehadiran dan penanyaan acak yang dilakukan oleh Ormas dan Polisi berpakaian preman tersebut.
Pukul 14.00 – 16.00 WIB


  • Ketika Pimpinan Umum LPM Daunjati, tiga orang anggota LPM Daunjati, dan Presiden BEM, bersama Pihak Kemahasiswaan sampai di Ruang Rektor, sudah ada lima orang polisi berseragam lengkap (menurut pengakuan Ridwan, dari berbagai satuan: Polrestabes, Polsek Lengkong, dan pakaian preman yang tidak diketahui dari mana), dua orang tentara berseragam lengkap (dari Babinsa dan Koramil), Rektor dan dua orang Staff Rektorat.
  • Setelah dipersilahkan duduk, Ridwan langsung diinterogasi soal konten acara oleh seorang Polisi dari jarak dekat, yang diakui Ridwan itu sangat membuatnya tertekan. Setelah menjelaskan soal latar belakang acara, Polisi langsung menanggapi Ridwan dengan kalimat: “diskusi yang kalian buat akan berdampak perpecahan NKRI, karena persoalan ini adalah persoalan internasional”, “kamu tau gak, New York Agreement itu isu yang sangat sensitif?! Itu bentuk bersatunya dan terpisahnya Papua dari Indonesia”, lalu tidak lama kemudian masuk tiga orang berkemeja putih dan celana hitam, yang belakangan diketahui adalah anggota Ormas.
  • Tiga orang anggota Ormas itu masuk, lalu tiba-tiba, tanpa izin terlebih dahulu memotret wajah Ridwan dan seluruh mahasiswa yang ada di ruangan. Dengan lampu kilat tepat di depan wajah, yang membuat kondisi menjadi semakin intimidatif. Rektor, Staff Rektorat, Pihak Kemahasiswaan dan seluruh aparat yang ada di ruangan membiarkan hal tersebut tanpa ada teguran apa-apa terhadap pemotretan yang dilakukan tiga anggota Ormas itu. Ini jelas-jelas tidak sesuai dengan perkataan Pihak Kemahasiswaan sebelumnya, bahwa tujuan pembicaraan dilakukan di Gedung Rektorat agar pengurus LPM Daunjati aman dari serangan Ormas.
  • Polisi yang menginterogasi Ridwan sejak awal, meminta kepada Rektor untuk membuat surat kesepakatan pemberhentian diskusi. Tanpa menunggu waktu lama, Een dengan tangkas menjawab: “udah kok Pak, itu (suratnya) lagi dibikin”. Selama proses menunggu surat yang dimaksud oleh Een. Ridwan terus diinterogasi sampai persoalan pribadi, dari domisili rumah ke jenjang akademik.Termasuk mahasiswa lainnya yang ada di ruangan juga diinterogasi dengan pertanyaan yang sama.
  • Suasana ruangan, menurut pengakuan Ridwan itu sangat intimidatif. Saking intimidatifnya, Ridwan dan mahasiswa lain sampai tidak sadar di belakang sofa yang diduduki sudah ada lima orang Ormas FKPPI (seragam loreng coklat dengan logo FKPPI) berdiri. Ridwan menggambarkan: “Posisi duduk kami diriung (dikelilingi). Kami yang mahasiswa duduk berderet di satu sofa. Ada lima orang anggota FKKPI berdiri di belakang kami juga sampai tidak sadar sejak kapan masuknya. Di depan kanan kami itu Rektor dan Staffnya, tiga anggota Ormas berkemeja putih juga di sebelah kanan memotret kami. Di depan sebelah kiri itu polisi dan tentara. Di depan awalnya polisi, lalu ada Staff Rektorat juga. Intinya kami posisinya sangat terteror, terasa sangat menekan.”
  • Arul, anggota LPM Daunjati sempat mendesak polisi dari Polrestabes dan TNI untuk membubarkan Ormas FKPPI yang bergerombol di area kampus, dengan alasan sudah mengganggu kegiatan mahasiswa. Desakan itu langsung direspon oleh polisi dari Polrestabes dengan memberi intruksi kepada seorang Ormas yang disebut-sebut adalah ketuanya untuk membubarkan anggotanya keluar dari kampus. Lalu lima anggota Ormas keluar dari ruangan bersama seorang TNI. Tapi beberapa menit setelahnya, Arul mendapat informasi bahwa Ormas di luar Gedung Rektorat belum membubarkan diri dan keluar dari kampus.
  • Polisi dari Polrestabes itu tiba-tiba bilang: “ini tuh diskusinya bahaya. Saya juga udah mempersiapkan tiga kompi (pasukan anggota kepolisian), mereka siap ke sini kalau saya panggil”.
  • Surat yang dimaksud Rektor dan aparat selesai dibuat. Sempat ada negosiasi terhadap muatan surat, namun, seluruh masukan mahasiswa yang ada di ruangan itu tidak ada yang didengar, ditambah dengan intimidasi Rektor kepada Ridwan dengan mengatakan: “Harusnya kalian (Daunjati) fokus mengangkat seni dan budaya. Politik mah urusan orang sosiologi, ilmu politik. Kalau kalian begini terus, nanti Daunjati tidak akan saya kasih dana anggaran!”. Bagi Ridwan pribadi, ancaman ini lah yang membuatnya tertekan dan akhirnya mau menandatangani surat Berita Acara tersebut bersama Fikry Asrofi, Presiden BEM.



Pukul 16.15 WIB


  • Setelah keluar dari Ruang Rektor di Gedung Rektorat, semua mahasiswa yang tadi ikut bersama Ridwan dan Fikry berkumpul di Sekretariat Daunjati. Saat itu juga jajaran pengurus LPM Daunjati dan BEM melakukan konsolidasi. Ridwan dan Fikry, sebagai dua orang yang menandatangani surat Berita Acara tersebut mengaku terpaksa, karena berada di bawah situasi yang menekan dan tidak memungkinkan untuk menolak. Karena pada dasarnya, surat tersebut jelas-jelas dibuat dengan sepihak,
tidak demokratis dan ada indikasi memaksa dengan suasana intimidatif (tidak adil) yang dibangun sejak awal.


  • Selain itu, poin-poin yang ada di surat Berita Acara tersebut jelas-jelas mengada-ngadamencederai, danmengkhianati prinsip kebebasan berekpresi, kebebasan akademik, otonomi ilmu pengetahuan, hak asasi manusia, kebebasan berdiskusi dan menuangkan pikiran. Prinsip-prinsip ini juga dilindungi langsung oleh UUD 1945 Amandemen dan UU PT No.12 tahun 2012 yang telah mengatur hak-hak yang disebutkan.
  • Ormas FKPPI, TNI dan Polisi bubar dan meninggalkan area kampus secara bersama-sama sekitar pukul 16.30 WIB.
  • Sampai pukul 17.00 WIB beberapa mahasiswa masih melihat orang yang diduga intel berkeliaran di kampus.

Narahubung:
0859117330620