Foto : Ist. |
Corong Demokrasi,- Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Wilayah Sulawesi Selatan (PBHI SUL-SEL) mengadakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema "Konsolidasi Gerakan Penegakan Hukum dan HAM" pada Jumat, (25/10/2024).
Acara ini melibatkan berbagai pihak yang berkomitmen dalam upaya penegakan hukum dan HAM di Sulawesi Selatan, termasuk praktisi hukum, akademisi, serta perwakilan organisasi mahasiswa. Kegiatan ini dipandu oleh Syamsul Rijal, S.H., selaku fasilitator.
Adapun Peserta yang hadir dalam FGD ini adalah:
1. Dr. Andi Cibu, S.H., M.H. – Ketua PBHI Sulsel.
2. Azhad Zadly Zainal, S.H. – Kepala Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum PBHI Sulsel.
3. Andry Wikra Wardhana Mamonto, S.H., M.H. – Korban.
4. Imran Eka Saputra, S.H., M.H. – Akademisi.
5. Syamsumarlin, S.H. – Direktur Eksekutif Bakornas LKBHMI PB HMI.
6. Aflina Mustafainah – Praktisi Hukum.
7. Nurul Fadli Gaffar, S.H. – WALHI Sulsel.
8. Adam Pamoso – Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FH UMI.
9. Muh. Sukriadi – Perwakilan BEM FH UNHAS.
10. Muhammad Nur Haikal – Ketua Dewan Mahasiswa (DEMA) FSH UIN Alauddin Makassar.
11. Muhammad Bintang Dwi Putra – Ketua BEM FIS-H Universitas Negeri Makassar (UNM).
Syamsul Rijal, S.H., membuka kegiatan ini dengan memaparkan beberapa kasus pelanggaran HAM yang pernah diadvokasi oleh PBHI Sulsel di antaranya:
1. Kasus kekerasan oleh aparat kepolisian terhadap dosen UMI Makassar.
2. Penutupan akses jalan warga Kampung Alla-alla.
3. Tambang galian C ilegal di tengah pemukiman warga di Gowa.
4. Skorsing mahasiswa UIN Alauddin Makassar.
5. 69 pekerja di salah satu perusahaan pailit yang belum mendapatkan hak-haknya.
6. Pendampingan terhadap masyarakat adat di Luwu Timur dan Toraja Utara bersama WALHI Sulsel.
"Dari sekian kasus ini, ada satu kasus yang hingga saat ini belum selesai dan telah berjalan selama empat tahun, yaitu kasus kekerasan oleh aparat kepolisian terhadap dosen UMI Makassar,” ungkap Syamsul Rijal, S.H.
Dalam kesempatan itu, peserta FGD mengemukakan pendapat atas lambatnya penanganan pelanggaran HAM di Sulawesi Selatan. Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah penganiayaan terhadap dosen UMI Andry Wikra Wardhana Mamonto (AAN Mamonto) oleh aparat kepolisian yang hingga kini belum menemukan titik terang. Para peserta menilai kasus ini mencerminkan lemahnya penegakan hukum terutama jika melibatkan aparat penegak hukum.
Kasus lain yang menjadi perhatian adalah skorsing terhadap mahasiswa UIN Alauddin Makassar sebagai dampak kebijakan pembatasan aspirasi mahasiswa melalui surat edaran kampus. Kebijakan tersebut dinilai membatasi kebebasan berekspresi dan bertentangan dengan prinsip HAM khususnya hak untuk menyampaikan pendapat.
Masih banyaknya kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas mencerminkan tantangan yang dihadapi para korban dalam mencari keadilan, menunjukkan adanya kendala dalam sistem hukum yang menghambat penyelesaian cepat dan efektif.
Pernyataan dari Para Peserta.
1. Azhad Zadly Zainal, S.H. menyampaikan, "Dalam mengadvokasi kasus ini, PBHI Sulsel tidak hanya menempuh upaya hukum dengan melapor ke kepolisian, tetapi juga mengampanyekan kasus ini dalam agenda penting, seperti pada Hari HAM Sedunia 10 Desember 2023 dan Aksi Kamisan ke-804 di Monumen Mandala Makassar pada 1 Februari 2024. Kampanye ini bertujuan untuk menunjukkan solidaritas kepada korban, menuntut akuntabilitas atas pelanggaran yang terjadi, serta meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya perlindungan HAM dan reformasi penegakan hukum di Indonesia. Hingga saat ini, PBHI Sulsel terus mengadvokasi dan mendorong kepolisian untuk membuka kembali penanganan kasus ini."
2. Andry Wikra Wardhana Mamonto, S.H., M.H. menyatakan, “Kasus ini telah membawa dampak traumatis bagi saya. Meskipun berulang kali diperjuangkan melalui jalur hukum, masih belum ada tindakan konkret dari pihak kepolisian untuk menyelesaikannya secara tuntas. Jika kasus ini terus dibiarkan tanpa kejelasan, ini akan menjadi preseden buruk yang akan memperkuat budaya impunitas, di mana aparat penegak hukum bisa bebas dari hukuman ketika melanggar hak asasi warga negara serta meligitimasi tindakan aparat kepolisian. Saya khawatir kasus-kasus serupa akan terulang jika tidak ada tindakan tegas dari pihak berwenang".
3. Dr. Andi Cibu, S.H., M.H. berpendapat, “Proses penegakan hukum di Sulawesi Selatan saat ini sangat lemah dan terkesan dilakukan setengah hati. Secara nasional, kita melihat KOMNAS HAM sebagai lembaga independen yang semestinya melindungi hak asasi manusia tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan. Rekomendasi yang dikeluarkan bisa diterima atau diabaikan oleh institusi lain. Maka, saya menilai sangat penting untuk mendorong penguatan peran dan kewenangan KOMNAS HAM agar bisa menjalankan fungsi pengawasan dan penindakan secara efektif. Dengan begitu, upaya perlindungan HAM tidak sekadar formalitas, tetapi menjadi tindakan nyata bagi masyarakat yang membutuhkan keadilan".
4. Dr. Imran Eka Saputra, S.H., M.H. mengungkapkan, “Ada kesan kuat bahwa dalam kasus-kasus tertentu, proses hukum yang dilakukan terkesan by design untuk menghindari penyidikan dan proses pengadilan yang sebenarnya. Dalam kasus ini, terjadi ruang kosong dalam praperadilan, karena objek praperadilan dibatasi sehingga korban kesulitan mencari keadilan. Sikap Polda Sulsel yang tidak profesional menambah buruk situasi ini. Kondisi ini menuntut reformasi hukum agar ruang praperadilan tidak dibatasi, sehingga dapat memberikan kesempatan lebih besar kepada korban pelanggaran HAM untuk memperjuangkan haknya".
5. Syamsumarlin menambahkan, “Kita melihat bahwa aparat penegak hukum masih menggunakan hukum acara yang tidak sesuai standar/tidak normal dalam menangani kasus-kasus HAM. Dengan demikian, kita membutuhkan strategi advokasi yang juga di luar kebiasaan dan tidak normal. Kasus ini seharusnya dapat dibuka kembali melalui praperadilan, judicial review, atau mekanisme hukum lainnya yang mampu mendorong penyelesaian. Selain itu, pengadilan HAM dalam konteks pelanggaran HAM berat masih kekurangan norma khusus, karena hukum acara yang digunakan masih bersifat umum. Perbedaan tafsir antara Komnas HAM dan Kejagung RI juga sering kali menjadi hambatan, sehingga kerjasama antarlembaga perlu diperkuat".
6. Aflina Mustafainah mengusulkan, “Untuk membantu korban pelanggaran HAM memperoleh keadilan, langkah yang dapat ditempuh meliputi pengajuan individual complaint serta pelaporan kepada lembaga-lembaga HAM seperti KOMNAS HAM, LPSK, dan KPAI. Selain itu, tuntutan ganti rugi berupa restitusi kepada korban pelanggaran HAM harus diperjuangkan secara konsisten. Proses ini bukan hanya soal kompensasi materiil, tetapi juga sebagai bentuk pengakuan atas penderitaan korban dan penegasan bahwa hak asasi manusia harus dihormati dan dilindungi".
7. Nurul Fadli Gaffar, S.H. juga menekankan pentingnya restitusi bagi korban pelanggaran HAM. Ia mengatakan, “Tuntutan ganti rugi bagi korban pelanggaran HAM merupakan langkah awal yang penting. Upaya ini memberikan keadilan bagi korban, serta menegaskan komitmen negara untuk melindungi setiap warga negara tanpa kecuali. Restitusi harus dilakukan, baik dari segi materi maupun non-materi, sebagai bentuk penghormatan atas hak-hak korban yang selama ini terabaikan".
8. Adam Pamoso menyatakan, “Kami dari kalangan mahasiswa akan berkomitmen untuk terus mengawal setiap proses advokasi dan penyelesaian kasus HAM yang terjadi".
9. Muhammad Nur Haikal menyebutkan, “Kami dari UIN Alauddin Makassar juga mengalami persoalan serupa mengenai pelanggaran HAM, khususnya dalam hal pembatasan kebebasan berpendapat di lingkungan kampus. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak rektorat melalui surat edaran yang mewajibkan izin ketika akan menyampaikan pendapat mengekang hak mahasiswa untuk menyuarakan aspirasinya. Kami menganggap kebijakan tersebut tidak sesuai dengan prinsip kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi".
10. Muh. Sukriadi mengungkapkan, “Kami dari Unhas berkomitmen untuk terus mengawal kasus-kasus pelanggaran HAM. Saat melakukan aksi, sering kali kami mengalami intimidasi dari pihak birokrasi kampus, yang menciptakan kekhawatiran di kalangan mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa iklim demokrasi di kampus masih jauh dari ideal, dan perubahan sangat dibutuhkan".
11. Muhammad Bintang Dwi Putra menambahkan, “Di kampus UNM, kami juga pernah mengalami kasus serupa yang menghambat kebebasan berekspresi. Kami dihadapkan pada aturan-aturan yang membatasi ruang gerak mahasiswa untuk menyuarakan pendapat. Jika situasi ini terus berlanjut, dikhawatirkan akan berdampak pada kualitas demokrasi di kalangan mahasiswa. Kami harap kampus bisa menjadi ruang yang bebas bagi mahasiswa untuk berekspresi dan memperjuangkan hak mereka tanpa takut intimidasi".
Harapan ke depan dalam penegakan HAM.
FGD ini menghasilkan Memorandum PBHI Sulawesi Selatan untuk Hak Asasi Manusia, dengan poin-poin sebagai berikut:
1. Perlunya penguatan instrumen penuntutan dan peradilan HAM di Indonesia.
2. Perlunya penguatan KOMNAS HAM sebagai lembaga independen penegakan HAM.
3. Tuntaskan pelanggaran HAM masa lalu dan adili aktor-aktornya.
4. Terus memastikan pemenuhan, pemajuan, dan penegakan HAM di Indonesia, baik masa kini dan di masa mendatang.
Dengan adanya FGD ini, PBHI Sulawesi Selatan berharap tercipta perubahan sistemik dalam penanganan pelanggaran HAM serta peningkatan kesadaran dan dukungan publik dalam penegakan HAM.
Adapun Peserta yang hadir dalam FGD ini adalah:
1. Dr. Andi Cibu, S.H., M.H. – Ketua PBHI Sulsel.
2. Azhad Zadly Zainal, S.H. – Kepala Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum PBHI Sulsel.
3. Andry Wikra Wardhana Mamonto, S.H., M.H. – Korban.
4. Imran Eka Saputra, S.H., M.H. – Akademisi.
5. Syamsumarlin, S.H. – Direktur Eksekutif Bakornas LKBHMI PB HMI.
6. Aflina Mustafainah – Praktisi Hukum.
7. Nurul Fadli Gaffar, S.H. – WALHI Sulsel.
8. Adam Pamoso – Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FH UMI.
9. Muh. Sukriadi – Perwakilan BEM FH UNHAS.
10. Muhammad Nur Haikal – Ketua Dewan Mahasiswa (DEMA) FSH UIN Alauddin Makassar.
11. Muhammad Bintang Dwi Putra – Ketua BEM FIS-H Universitas Negeri Makassar (UNM).
Syamsul Rijal, S.H., membuka kegiatan ini dengan memaparkan beberapa kasus pelanggaran HAM yang pernah diadvokasi oleh PBHI Sulsel di antaranya:
1. Kasus kekerasan oleh aparat kepolisian terhadap dosen UMI Makassar.
2. Penutupan akses jalan warga Kampung Alla-alla.
3. Tambang galian C ilegal di tengah pemukiman warga di Gowa.
4. Skorsing mahasiswa UIN Alauddin Makassar.
5. 69 pekerja di salah satu perusahaan pailit yang belum mendapatkan hak-haknya.
6. Pendampingan terhadap masyarakat adat di Luwu Timur dan Toraja Utara bersama WALHI Sulsel.
"Dari sekian kasus ini, ada satu kasus yang hingga saat ini belum selesai dan telah berjalan selama empat tahun, yaitu kasus kekerasan oleh aparat kepolisian terhadap dosen UMI Makassar,” ungkap Syamsul Rijal, S.H.
Dalam kesempatan itu, peserta FGD mengemukakan pendapat atas lambatnya penanganan pelanggaran HAM di Sulawesi Selatan. Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah penganiayaan terhadap dosen UMI Andry Wikra Wardhana Mamonto (AAN Mamonto) oleh aparat kepolisian yang hingga kini belum menemukan titik terang. Para peserta menilai kasus ini mencerminkan lemahnya penegakan hukum terutama jika melibatkan aparat penegak hukum.
Kasus lain yang menjadi perhatian adalah skorsing terhadap mahasiswa UIN Alauddin Makassar sebagai dampak kebijakan pembatasan aspirasi mahasiswa melalui surat edaran kampus. Kebijakan tersebut dinilai membatasi kebebasan berekspresi dan bertentangan dengan prinsip HAM khususnya hak untuk menyampaikan pendapat.
Masih banyaknya kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas mencerminkan tantangan yang dihadapi para korban dalam mencari keadilan, menunjukkan adanya kendala dalam sistem hukum yang menghambat penyelesaian cepat dan efektif.
Pernyataan dari Para Peserta.
1. Azhad Zadly Zainal, S.H. menyampaikan, "Dalam mengadvokasi kasus ini, PBHI Sulsel tidak hanya menempuh upaya hukum dengan melapor ke kepolisian, tetapi juga mengampanyekan kasus ini dalam agenda penting, seperti pada Hari HAM Sedunia 10 Desember 2023 dan Aksi Kamisan ke-804 di Monumen Mandala Makassar pada 1 Februari 2024. Kampanye ini bertujuan untuk menunjukkan solidaritas kepada korban, menuntut akuntabilitas atas pelanggaran yang terjadi, serta meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya perlindungan HAM dan reformasi penegakan hukum di Indonesia. Hingga saat ini, PBHI Sulsel terus mengadvokasi dan mendorong kepolisian untuk membuka kembali penanganan kasus ini."
2. Andry Wikra Wardhana Mamonto, S.H., M.H. menyatakan, “Kasus ini telah membawa dampak traumatis bagi saya. Meskipun berulang kali diperjuangkan melalui jalur hukum, masih belum ada tindakan konkret dari pihak kepolisian untuk menyelesaikannya secara tuntas. Jika kasus ini terus dibiarkan tanpa kejelasan, ini akan menjadi preseden buruk yang akan memperkuat budaya impunitas, di mana aparat penegak hukum bisa bebas dari hukuman ketika melanggar hak asasi warga negara serta meligitimasi tindakan aparat kepolisian. Saya khawatir kasus-kasus serupa akan terulang jika tidak ada tindakan tegas dari pihak berwenang".
3. Dr. Andi Cibu, S.H., M.H. berpendapat, “Proses penegakan hukum di Sulawesi Selatan saat ini sangat lemah dan terkesan dilakukan setengah hati. Secara nasional, kita melihat KOMNAS HAM sebagai lembaga independen yang semestinya melindungi hak asasi manusia tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan. Rekomendasi yang dikeluarkan bisa diterima atau diabaikan oleh institusi lain. Maka, saya menilai sangat penting untuk mendorong penguatan peran dan kewenangan KOMNAS HAM agar bisa menjalankan fungsi pengawasan dan penindakan secara efektif. Dengan begitu, upaya perlindungan HAM tidak sekadar formalitas, tetapi menjadi tindakan nyata bagi masyarakat yang membutuhkan keadilan".
4. Dr. Imran Eka Saputra, S.H., M.H. mengungkapkan, “Ada kesan kuat bahwa dalam kasus-kasus tertentu, proses hukum yang dilakukan terkesan by design untuk menghindari penyidikan dan proses pengadilan yang sebenarnya. Dalam kasus ini, terjadi ruang kosong dalam praperadilan, karena objek praperadilan dibatasi sehingga korban kesulitan mencari keadilan. Sikap Polda Sulsel yang tidak profesional menambah buruk situasi ini. Kondisi ini menuntut reformasi hukum agar ruang praperadilan tidak dibatasi, sehingga dapat memberikan kesempatan lebih besar kepada korban pelanggaran HAM untuk memperjuangkan haknya".
5. Syamsumarlin menambahkan, “Kita melihat bahwa aparat penegak hukum masih menggunakan hukum acara yang tidak sesuai standar/tidak normal dalam menangani kasus-kasus HAM. Dengan demikian, kita membutuhkan strategi advokasi yang juga di luar kebiasaan dan tidak normal. Kasus ini seharusnya dapat dibuka kembali melalui praperadilan, judicial review, atau mekanisme hukum lainnya yang mampu mendorong penyelesaian. Selain itu, pengadilan HAM dalam konteks pelanggaran HAM berat masih kekurangan norma khusus, karena hukum acara yang digunakan masih bersifat umum. Perbedaan tafsir antara Komnas HAM dan Kejagung RI juga sering kali menjadi hambatan, sehingga kerjasama antarlembaga perlu diperkuat".
6. Aflina Mustafainah mengusulkan, “Untuk membantu korban pelanggaran HAM memperoleh keadilan, langkah yang dapat ditempuh meliputi pengajuan individual complaint serta pelaporan kepada lembaga-lembaga HAM seperti KOMNAS HAM, LPSK, dan KPAI. Selain itu, tuntutan ganti rugi berupa restitusi kepada korban pelanggaran HAM harus diperjuangkan secara konsisten. Proses ini bukan hanya soal kompensasi materiil, tetapi juga sebagai bentuk pengakuan atas penderitaan korban dan penegasan bahwa hak asasi manusia harus dihormati dan dilindungi".
7. Nurul Fadli Gaffar, S.H. juga menekankan pentingnya restitusi bagi korban pelanggaran HAM. Ia mengatakan, “Tuntutan ganti rugi bagi korban pelanggaran HAM merupakan langkah awal yang penting. Upaya ini memberikan keadilan bagi korban, serta menegaskan komitmen negara untuk melindungi setiap warga negara tanpa kecuali. Restitusi harus dilakukan, baik dari segi materi maupun non-materi, sebagai bentuk penghormatan atas hak-hak korban yang selama ini terabaikan".
8. Adam Pamoso menyatakan, “Kami dari kalangan mahasiswa akan berkomitmen untuk terus mengawal setiap proses advokasi dan penyelesaian kasus HAM yang terjadi".
9. Muhammad Nur Haikal menyebutkan, “Kami dari UIN Alauddin Makassar juga mengalami persoalan serupa mengenai pelanggaran HAM, khususnya dalam hal pembatasan kebebasan berpendapat di lingkungan kampus. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak rektorat melalui surat edaran yang mewajibkan izin ketika akan menyampaikan pendapat mengekang hak mahasiswa untuk menyuarakan aspirasinya. Kami menganggap kebijakan tersebut tidak sesuai dengan prinsip kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi".
10. Muh. Sukriadi mengungkapkan, “Kami dari Unhas berkomitmen untuk terus mengawal kasus-kasus pelanggaran HAM. Saat melakukan aksi, sering kali kami mengalami intimidasi dari pihak birokrasi kampus, yang menciptakan kekhawatiran di kalangan mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa iklim demokrasi di kampus masih jauh dari ideal, dan perubahan sangat dibutuhkan".
11. Muhammad Bintang Dwi Putra menambahkan, “Di kampus UNM, kami juga pernah mengalami kasus serupa yang menghambat kebebasan berekspresi. Kami dihadapkan pada aturan-aturan yang membatasi ruang gerak mahasiswa untuk menyuarakan pendapat. Jika situasi ini terus berlanjut, dikhawatirkan akan berdampak pada kualitas demokrasi di kalangan mahasiswa. Kami harap kampus bisa menjadi ruang yang bebas bagi mahasiswa untuk berekspresi dan memperjuangkan hak mereka tanpa takut intimidasi".
Harapan ke depan dalam penegakan HAM.
FGD ini menghasilkan Memorandum PBHI Sulawesi Selatan untuk Hak Asasi Manusia, dengan poin-poin sebagai berikut:
1. Perlunya penguatan instrumen penuntutan dan peradilan HAM di Indonesia.
2. Perlunya penguatan KOMNAS HAM sebagai lembaga independen penegakan HAM.
3. Tuntaskan pelanggaran HAM masa lalu dan adili aktor-aktornya.
4. Terus memastikan pemenuhan, pemajuan, dan penegakan HAM di Indonesia, baik masa kini dan di masa mendatang.
Dengan adanya FGD ini, PBHI Sulawesi Selatan berharap tercipta perubahan sistemik dalam penanganan pelanggaran HAM serta peningkatan kesadaran dan dukungan publik dalam penegakan HAM.
*(red)