Foto : Gerakan Revolusi Demokratik. |
Corong Demokrasi,- Sudah 26 tahun reformasi berjalan sejak rezim otoritarian Soeharto jatuh pada 1998. Banyak agenda perbaikan dan perubahan dilakukan dalam masa tersebut dengan tujuan agar Indonesia menjadi negara yang demokratis.
Salah satunya melalui UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menghapus doktrin Dwifungsi ABRI dan militer dilarang berpolitik serta menduduki jabatan sipil.
Namun kini, sejarah kelam Dwifungsi ABRI di masa rezim orba yang otoritarian dan represif berusaha diterapkan kembali oleh pemerintahan Joko Widodo di akhir masa jabatannya.
Namun kini, sejarah kelam Dwifungsi ABRI di masa rezim orba yang otoritarian dan represif berusaha diterapkan kembali oleh pemerintahan Joko Widodo di akhir masa jabatannya.
Hal itu terlihat melalui upaya revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan pembentukan UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) dan rancangan PP pelaksana UU ASN yang akan dibuat, militer dan polisi (dahulu ABRI) akan kembali diizinkan menduduki jabatan sipil. Pasal 19 Ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN menyebutkan bahwa jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit TNI dan anggota Polri.
Menyikapi hal itu, ketua Komite Pusat Gerakan Revolusi Demokratik (KP-GRD), Jimi Saputra angkat bicara.
Ia mengatakan bahwa gelagat elite politik pemerintahan Joko Widodo menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI adalah sebuah kemunduran dan pengkhianatan terhadap amanat reformasi 1998.
"Militer tidak bekerja dalam sistem demokratis, melainkan sistem komando hirarkis. Ketika penyelenggaraan negara melibatkan prajurit aktif, tentu sistem dan fungsi demokrasi itu tidak bekerja secara optimal. Sejarah masa lalu telah membuktikan bagaimana peran dwifungsi ABRI yang sampai menghilangkan demokrasi dan negara hukum," tegasnya.
*(red)
Pasalnya, kata dia, penerapan Dwifungsi ABRI untuk mengisi jabatan sipil berpotensi disalahgunakan oleh pimpinan tertinggi dalam militer dan kepolisian untuk kepentingan politik seperti yang terjadi di masa Orde Baru.
"Upaya menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI bagi kami adalah sebuah bentuk pengkhianatan terhadap amanat reformasi," ujar Jimi Saputra kepada Corong Demokrasi, Minggu (09/06/2024).
Lanjut, Jimi Saputra juga menyoroti pernyataan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto yang menyebut militer saat ini berperan sebagai multifungsi.
Menurutnya, pernyataan TNI multifungsi itu hanya kedok untuk menerapkan praktik dwifungsi ABRI.
"Indonesia ini menganut sistem politik demokrasi maka harus ada pemisahan sektor sipil dan militer," pungkasnya.
"Panglima TNI Agus Subiyanto sudah seharusnya taat terhadap TAP MPR No. VI Tahun 2000 yang dalam konsiderannya menyatakan dengan tegas bahwa dwifungsi ABRI sebagai hal keliru dan menimbulkan berbagai permasalahan dalam kehidupan sosial politik," ucapnya.
Lebih lanjut, Jimi Saputra menegaskan bahwa Gerakan Revolusi Demokratik menolak upaya menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI.
Lebih lanjut, Jimi Saputra menegaskan bahwa Gerakan Revolusi Demokratik menolak upaya menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI.
"Secara kelembagaan Gerakan Revolusi Demokratik (GRD) menolak keras revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI dan segala bentuk upaya untuk menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI," tegas Jimi Saputra ketua KP-GRD.
"Militer sesuai dengan hakikat keberadaanya dididik, dibiayai dan dipersiapkan untuk menjaga pertahanan negara, bukan untuk mengurusi urusan sipil yang orientasinya pelayanan publik," tutupnya.
*(red)