Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita


Peringati Hari HAM Sedunia, PBHI Sulsel Soroti Kelemahan KOMNAS HAM & Dorong Upaya Pembentukan Peradilan Khusus HAM

December 12, 2023 Last Updated 2023-12-11T16:16:22Z

Foto : Ist.

Corong Demokrasi,- 75 tahun peringatan hari HAM Sedunia sejak pertama kali tercetus pada tahun 1950 silam, peringatan ini sangat erat kaitannya dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 10 Desember 1948. 

Dalam momentum tersebut ditetapkan tanggal 10 Desember setiap tahunnya sebagai Hari Hak Asasi Manusia sebagai akibat dari pelanggaran HAM yang sangat berat selama Perang dunia kedua

Hari ini dibeberapa daerah di Indonesia, berbagai elemen masyarakat sipil turun ke jalan untuk memperingati Hari HAM tersebut, tidak terkecuali Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Wilayah Sulawesi Selatan.

Salah satu isu yang didorong dan menjadi fokus oleh PBHI Sulsel dalam aksinya adalah terkait status kewenangan penuntutan dari Komnas HAM dan upaya untuk mendorong dibentuknya peradilan khusus HAM

“Kita punya Komnas HAM tetapi tidak punya kewenangan penuntutan. Sehingga kasus pelanggaran HAM masa lalu diserahkan pada jaksa agung. bagaimana mungkin negara dapat menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran ham masa lalu, sementara terduga pelaku pelanggar HAM berada dalam lingkaran kekuasaan," ungkap Kadiv Kampanye dan Kajian Isu-Isu Strategis PBHI Sulsel.

“Sejak di undangkannya Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, kejaksaan agung memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap kasus pelanggaran HAM berat. Namun dalam perkembangannya, Kasus yang telah diserahkan oleh Komnas HAM pada Jaksa Agung berakhir mandek," ujarnya.

Diantara banyaknya kasus pelanggaran HAM, hanya kasus Paniai yang dilanjutkan dalam tahap pengadilan. Namun dalam kasus Paniai yang dihadapkan di Pengadilan Negeri Makassar ini telah dinyatakan bebas dari hukuman 10 tahun penjara. pelanggaran HAM memang diakui oleh negara tetapi tidak ada tersangka yang terbukti bertanggung jawab.

Mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat biasanya dibentuk oleh suatu negara dengan cara mendirikan pengadilan khusus HAM. Pengadilan tersebut ada yang bersifat ad hoc maupun permanen. 

Di Indonesia sendiri, khusus mengadili kasus pelanggaran ham kita mengenal pengadilan yang bersifat ad hoc dan bukan permanen.

Penyelesaian terhadap pelanggaran HAM berat pada dasarnya mengacu pada prinsip exhaustion of local remedies melalui mekanisme forum pengadilan nasional, masalahnya politik hukum HAM di Indonesia cenderung tidak diiringi dengan keseriusan negara untuk benar-benar memberikan jaminan pemenuhan HAM. Padahal Negara juga telah meratifikasi berbagai konvenan penting sebagai landasan pengakuan atas HAM.

Hal lain yang menjadi perhatian PBHI Sulsel adalah soal pemajuan dan penegakan HAM. Pemenuhan kewajiban negara dalam hal pemajuan, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia hingga kini mengalami kemerosotan, negara seolah tidak mampu lagi membendungnya. Dari semua aspek mulai dari lahirnya produk perundang-undangan yang tidak berbasis HAM dan tidak pro rakyat, perampasan ruang hidup hingga tindak kejahatan terhadap hak-hak sipil politik.

Tak jarang, aktivis dan atau masyarakat sipil yang menolak perampasan lahan oleh negara justru berujung pada penangkapan dan pemenjaraan.

Rempang menjadi contoh bagaimana negara menutup ruang yang dapat menghambat jalannya investasi. Sebanyak delapan orang warga ditangkap dalam bentrokan antara warga dan aparat gabungan. Tidak hanya itu, Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang terhadap aktivis dan pegiat HAM serta pembatasan kebebasan berekspresi saat ini menjadi semakin mengkhawatirkan. 

Kasus kriminalisasi yang baru-baru ini terjadi terhadap Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar dengan dugaan pidana pencemaran nama baik terhadap Luhut Binsar Panjaitan menjadi gambaran terhadap watak negara dalam merespon kritik. Kritikan Fatia dan Haris seharusnya dibiarkan menjadi diskursus publik terhadap permasalahan tambang di Indonesia khususnya di Papua, bukan justru dijadikan dasar pelaporan tindak pidana.

Di makassar, Kasus Dosen AM salah tangkap yang dianiaya oleh aparat keamanan negara dalam aksi demonstrasi menolak Omnibus Law bahkan telah dihentikan penyelidikannya, padahal kasus ini telah disimpulkan oleh Komnas HAM bahwa telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia, namun hingga empat kali pergantian Kapolda Sulsel kasus ini tidak kunjung menemui titik terang. Kasus tersebut hanya sedikit dari sekian banyak serangan yang ditujukan kepada aktivis dan gerakan rakyat yang mengalami kriminalisasi atau penangkapan dan ancaman dari berbagai pihak.

Bersamaan dengan hari HAM Sedunia, di Indonesia sekarang ini telah memasuki masa kampanye Capres & Cawapres. ironinya diantara ketiga Capres & Cawapres tersebut justru makin memperburuk harapan terhadap isu pemenuhan dan penegakan HAM karena tidak banyak menyinggung isu HAM dalam Visi dan Misi mereka, sehingga bukan tidak mungkin pelanggaran HAM masih akan terjadi dimasa mendatang, dan akan berkembang menjadi persoalan yang cenderung tidak dipandang sebagai prioritas lagi oleh negara.

*(red)


×
Berita Terbaru Update