Foto: Lyan Tandu ( Penulis) salah satu Pemuda Manggarai Timur ( NTT) |
Corong Demokrasi,- Indonesia telah memasuki tahun politik, tentunya menandakan pesta demokrasi akan berlangsung terutama dalam penentuan wakil-wakil rakyat untuk lima tahun yang akan datang.
Mendekati tahun politik 2024, partai-partai sudah mulai ”memanaskan” mesin politiknya. Berbagai penjajakan koalisi dilakukan.
Konsolidasi antar-elite partai dalam rangka memaksimalkan peluang pemenangan pemilu juga telah diintensifkan. Hari-hari ini panggung politik diwarnai tingginya mobilitas elite partai, baik vertikal maupun horizontal.
Jika berkaca pada teori klasik aries toteles berpandangan bahwa politik adalah usaha yang di tempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama artinya politik sebagai sarana tentang proses perumusan dan plaksana kebijakan.
Berbicara tentang politik di kalangan masyarakat bukan sebuah hal yang baru lagi, politik itu seperti asupan dan nutrisi yang selalu dikonsumsi masyarakat pada umumnya. Kehadiran politik di tengah masyarakat menjadikan politik sebagai bahan pertimbangan banyak orang juga sebagai acuan dan barometer mereka dalam mengukur kualitas pemimpin.
Frans M Suseno tokoh rohaniwan katolik dan budayawan Indonesia pernah mengatakan bahwa politik bukan memilih yang terbaik tapi mencegah yang terburuk berkuasa, pandangan tersebut tentunya mengartikan bahwa kita boleh saja buta politik dan menganggap politik sebagai sesuatu yang biasa saja akan tetapi kita perlu memahami bahwa setiap keputusan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah adalah hasil dari keputusan politik.
Tentu dari segi pandangan masyarakat mengartikan politik itu berbeda-beda ada yang mengartikan politik sebagai sebuah keseriusan(seni ) yang di mainkan elite dengan tujuan kepentingan bersama. Ada juga yang mengartikan politik sebagai pencitraan tidak lebih dari sebuah kepentingan orang-orang tertentu.
Politik memang sangat lumrah, kehadiran politik di mata masyarakat memicu berbagai macam reaksi serta asumsi yang mengarah ke satu hal yang tidak berbobot (tidak penting). Pandangan itu bermula dari budaya politik mereka yang cendrung bobrok dan tidak berkualitas karena kehadiran suatu kebiasaan untuk mempermudah strategi dalam proses penentuan pemilihan.
Kebiasaan tersebut dikenal dengan money politic atau politik uang, money politic memang bukan hal yang baru dalam dunia dan budaya politik masyarakat Indonesia seperti budaya yang selalu terawat dan bermekaran sehat di lingkungan masyarakat.
Money politic dan kecendrungan masyarakat ini menjadikan kualitas dan intensitas politik hilang dan hancur. Yang tadinya politik ini sebagai seni sakral kini dilukis menjadi konstelasi yang kotor dan menjijikan. Sebagian orang mungkin mengaggap money politic adalah hal yang biasa saja dan ini bagian dari politik modern yang harus saling untung, mereka mendapat jabatan kita terima uang.
Tanpa di sadari kita sudah selangkah maju terperosok jatuh, kemerdekan expresi dan hak politik kita hilang dan mati dengan sendirinya demokrasi kita hancur. Sebuah pandangan yang keliru, kita condong menerima suapan kemudian lupa dengan kualitas dan ukuran orang yang kita pilih. Masyarakat sekarang memang cendrung dan mengidentifikasi dirinya menjadi masarakat yang buta politik.
Sehingga kebanyakan yang terjun dan hadir di dunia masyarakat adalah orang-orang yang tidak mengerti itu. Sehingga politik yang tadinya menjadi permainan seni kini di bungkus menjadi ajang penjualan harga diri.
Alam fikir kita musti sadar jangan menjadikan uang sebagai ukuran dalam berpolitik biarkan seni-seni itu berjalan sesuai sistem yang ada jangan merusaknya hanya karena kepentingan sesaat.
Mari ciptakan politik yang sehat dan kondusif bersih dan jauhkan dari politisasi dan sara yang menjadikan Demokrasi kita gagal dan hancur.
Berbicara tentang politik di kalangan masyarakat bukan sebuah hal yang baru lagi, politik itu seperti asupan dan nutrisi yang selalu dikonsumsi masyarakat pada umumnya. Kehadiran politik di tengah masyarakat menjadikan politik sebagai bahan pertimbangan banyak orang juga sebagai acuan dan barometer mereka dalam mengukur kualitas pemimpin.
Frans M Suseno tokoh rohaniwan katolik dan budayawan Indonesia pernah mengatakan bahwa politik bukan memilih yang terbaik tapi mencegah yang terburuk berkuasa, pandangan tersebut tentunya mengartikan bahwa kita boleh saja buta politik dan menganggap politik sebagai sesuatu yang biasa saja akan tetapi kita perlu memahami bahwa setiap keputusan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah adalah hasil dari keputusan politik.
Tentu dari segi pandangan masyarakat mengartikan politik itu berbeda-beda ada yang mengartikan politik sebagai sebuah keseriusan(seni ) yang di mainkan elite dengan tujuan kepentingan bersama. Ada juga yang mengartikan politik sebagai pencitraan tidak lebih dari sebuah kepentingan orang-orang tertentu.
Politik memang sangat lumrah, kehadiran politik di mata masyarakat memicu berbagai macam reaksi serta asumsi yang mengarah ke satu hal yang tidak berbobot (tidak penting). Pandangan itu bermula dari budaya politik mereka yang cendrung bobrok dan tidak berkualitas karena kehadiran suatu kebiasaan untuk mempermudah strategi dalam proses penentuan pemilihan.
Kebiasaan tersebut dikenal dengan money politic atau politik uang, money politic memang bukan hal yang baru dalam dunia dan budaya politik masyarakat Indonesia seperti budaya yang selalu terawat dan bermekaran sehat di lingkungan masyarakat.
Money politic dan kecendrungan masyarakat ini menjadikan kualitas dan intensitas politik hilang dan hancur. Yang tadinya politik ini sebagai seni sakral kini dilukis menjadi konstelasi yang kotor dan menjijikan. Sebagian orang mungkin mengaggap money politic adalah hal yang biasa saja dan ini bagian dari politik modern yang harus saling untung, mereka mendapat jabatan kita terima uang.
Tanpa di sadari kita sudah selangkah maju terperosok jatuh, kemerdekan expresi dan hak politik kita hilang dan mati dengan sendirinya demokrasi kita hancur. Sebuah pandangan yang keliru, kita condong menerima suapan kemudian lupa dengan kualitas dan ukuran orang yang kita pilih. Masyarakat sekarang memang cendrung dan mengidentifikasi dirinya menjadi masarakat yang buta politik.
Sehingga kebanyakan yang terjun dan hadir di dunia masyarakat adalah orang-orang yang tidak mengerti itu. Sehingga politik yang tadinya menjadi permainan seni kini di bungkus menjadi ajang penjualan harga diri.
Alam fikir kita musti sadar jangan menjadikan uang sebagai ukuran dalam berpolitik biarkan seni-seni itu berjalan sesuai sistem yang ada jangan merusaknya hanya karena kepentingan sesaat.
Mari ciptakan politik yang sehat dan kondusif bersih dan jauhkan dari politisasi dan sara yang menjadikan Demokrasi kita gagal dan hancur.
*(Ary)