Foto : Ist. |
Menurut Sugeng subsidi yang sudah dikeluarkan negara melalui APBN untuk menahan kenaikan harga Pertalite dan Solar sudah cukup memberatkan. Bahkan dengan adanya penambahan kuota Pertalite sebesar 5 juta kilo liter (KL) saja, maka kompensasi dan subsidi yang ditanggung negara dapat mencapai Rp 500 triliun lebih.
Demikian juga yang terjadi pada harga Liquefied Petroleum Gas (LPG), kenaikan CP Aramco yang menjadi dasar acuan pembentuk harga LPG juga turut membebani keuangan negara. Adapun harga kontrak LPG Aramco (Contract Price Aramco/CPA) saat ini telah menembus US$ 1100 per metrik ton dari asumsi awal hanya US$ 590 per metrik ton.
"Inilah problem-problem yang kita lihat tampaknya ini sudah tidak bisa ditahan lagi Pertalite dan Solar," ujar Sugeng seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (22/8/2022).
Meski begitu, Sugeng menilai setidaknya terdapat beberapa hal yang harus digarisbawahi jika nantinya pemerintah mengambil opsi kenaikan harga. Pertama, pemerintah harus melihat tentang kemampuan daya beli masyarakat yang menyangkut angka inflasi dan kemiskinan.
Kedua, kemampuan keuangan negara. Ketiga, kemampuan BUMN yakni Pertamina yang menjalankan tugas (public service obligation/PSO), mengingat harga Pertamax yang ditetapkan sebesar Rp 12.500 per liter aja belum sesuai secara keekonomian.
"Aktualnya Rp 18 ribuan jadi masih menanggung juga Rp 6000 an per liter, itu ditanggung Pertamina jadi sekali lagi kita harus berhitung cermat di APBN yang disampaikan Presiden tanggal 16 Agustus subsidi migas itu mencapai Rp 336 triliun artinya ini naik dari AOBN 2022 tetapi dengan kecenderungan tingkat konsumsi BBM yang naik dan juga ketidaktepatan sasaran," katanya.
*(don)