×

Iklan

Iklan

Indeks Berita


OPINI : Banjir, Krisis Iklim dan Ancaman Terhadap Ketahanan Pangan

April 10, 2022 Last Updated 2022-04-11T12:49:45Z

Foto : Kondisi terkini pasca banjir besar terjadi di Sangatta Utara dan Sangatta Selatan pada  Sabtu, (19/3/2022).


Corong Demokrasi,- Banjir besar yang terjadi di dua Kecamatan Sangatta Utara dan Sangatta selatan sudah seminggu surut, warga di dua Kecamatan itu sudah pula membersihkan sisa-sisa banjir baik yang di rumah maupun dilingkungan tempat tinggal.

Di sini terlihat masyarakat saling bahu-membahu untuk melakukan recovery pasca banjir, rakyat bantu rakyat. Di balik banjir yang sudah surut tersimpan persoalan besar lain yang harus segera diantisipasi. Ancaman terhadap ketahanan pangan.

Ancaman ini sudah terlihat sejak awal banjir, dengan terendamnya sebagian besar lahan pertanian sawah dan holtikultura utamanya di Kecamatan Sangatta Selatan, banjir ini menghempaskan harapan hidup ratusan petani.

Padi dan sayuran yang menjadi komoditi paling utama petani di Sangatta Utara dan Sangatta Selatan gagal panen, hal ini berimbas pada langkanya komoditi sayuran di pasar, jika pun tersedia dengan harga yang mahal.

Seminggu pasca banjir, sayuran lokal masih dijual dengan harga tinggi. Kangkung misalnya, biasa dijual dengan harga Rp 2.500 kini dijual Rp 8.000, Sawi di eceran pedagang juga tidak kalah tinggi di kisaran harga Rp 12.000, dan ini juga terjadi pada beberapa jenis sayuran lain.

Lantas bagaimana sebenarnya kondisi petani saat dan pasca banjir.?

Adalah Hasan petani sayuran yang sehari-hari menanam sayur di tanah yang Ia pinjam dari seorang pemilik tanah. Di atas tanah yang letaknya tidak jauh dari sungai sangatta ia menanam sayuran untuk memenuhi permintaan warga di Pasar Sangatta Selatan.

Ia dengan beberapa petani lain di lokasi yang saling berdekatan menanam berbagai macam sayuran yang direncanakan akan segera dipanen, tapi alam berkehendak lain, air datang dengan sangat cepat dan jumlah yang besar menghancurkan pengharapan mereka.

Sayuran yang siap panen terendam air setinggi dada orang dewasa, tidak hanya air tapi juga lumpur yang sangat tebal ikut mengubur lahan garapannya.

Berhari-hari sayuran tersebut ditanam, dipupuk dan dirawat habislah sudah, modal jutaan rupiah pun ludes tak bersisa. Padahal dalam kondisi normal saja untuk menanam sayuran ia bersama petani lain membutuhkan modal yang tidak sedikit, yang kadang kala ia dapat dari meminjam.

Pasca banjir Hasan hendak memulai lagi menanam sayuran tapi itu sulit dilakukan dengan kondisi cuaca yang tidak menentu dan lahan garapan yang masih dipenuhi oleh lumpur, butuh waktu beberapa bulan untuk dapat kembali normal.

Foto : Kondisi lahan petani yang dipenuhi banjir.


Kondisi ini tentu saja akan berdampak pada ketersediaan sayuran di pasar. Dan tentu saja mengancam ketahanan pangan warga. Wajarlah jika ibu-ibu mengeluhkannya di sosial media, karena itu cara paling praktis untuk berkeluh kesah.

Itu baru dilihat dari sisi pertanian holtikultura, belum lagi pertanian sawah, peternakan sapi serta kolam ikan warga yang turut menjadi korban banjir. Belum ada data akurat kerugian petani akibat banjir ini. Diperlukan keseriusan penanganan pangan pasca banjir. Yang tercepat adalah memastikan ketersediaan bibit, pupuk dan sarana pertanian bagi petani untuk segera dapat melakukan aktivitas penanaman kembali, kebutuhan pangan sangat penting apalagi di saat bulan ramadhan.

Berikutnya pemerintah perlu bergerak cepat melakukan penanganan kebencanaan, jika tidak ingin bencana seperti ini terus berulang.

Sebagai informasi Kepala Laboratorium Geodesi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (ITB) Heri Andrea, menyatakan ada 112 Kabupaten/Kota yang diprediksi beberapa tahun mendatang akan tergenang air dan salah satunya adalah Wilayah di Kabupaten Kutai Timur.

Beberapa hal yang mendesak untuk segera di tindak lanjuti diantaranya adalah perlunya untuk menyusun dokumen kebencanaan daerah yang merupakan tindak lanjut atas Perda Nomor 3 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Daerah.

Pemerintah juga sebaiknya mempertegas komitmen untuk mendorong alokasi anggaran yg responsif terhadap pembenahan infrastruktur penanganan kebencanaan banjir mulai dari perbaikan drainase di dalam kota, pengerukan sungai hingga memaksimalkan fungsi daerah resapan air, mengingat kondisi sungai-sungai kini tidak lagi dapat memenuhi daya dukung dan daya tampung ketika curah hujan tinggi.

Ancaman Perubahan Iklim mengintai

Seiring dengan ancaman perubahan iklim yang dampaknya sudah sangat terasa, diantaranya adalah naiknya permukaan air laut serta kondisi cuaca yg tidak menentu, pemerintah bersama multipihak perlu mendorong lokal initiatif di tingkat tapak melakukan pengendalian perubahan iklim dengan melalukan aktifitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Dengan begitu warga masyarakat dapat terlibat secara langsung menanggulangi bencana yang terjadi yang diakibatkan oleh perubahan iklim di lingkungan tempat tinggalnya masing-masing.

Pemerintah saat ini tengah melakukan revisi terhadap RT dan RW Kabupaten Kutai Timur Tahun 2015 – 2035, kita tentu berharap sekali revisi RT dan RW ini tanggap bencana, mengingat kabupaten ini tergolong memiliki ancaman kebencanaan tinggi.

Hampir seluruh wilayah Kutai Timur sangat rawan bencana, praktik-praktik obral izin baik tambang dan perkebunan oleh pemerintah di masa lalu menjadi pemicu alih fungsi lahan secara masif.

Lahan-lahan yg tadinya merupakan kawasan penyangga pangan dan daerah resapan telah pula berubah. Ironisnya kawasan-kawasan penyangga ketahanan pangan warga di Kabupaten ini justru bersisian dengan kawasan korporasi.

Artinya telah terjadi pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukannya, pemanfaatan pola ruang yg tidak sesuai ini berkontribusi pada peningkatan resiko bencana banjir dan bahkan kekeringan.

Pembangunan yg semata-mata hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tapi mengorbankan kelestarian lingkungan dan ketersedian ruang bagi kemandirian pangan telah mendegradasi ruang-ruang hidup dan sumber pangan warga.

Kita tentu berharap banjir besar yang terjadi dapat menjadi sarana evaluasi bagi semua pihak untuk melakukan intropeksi atas cara pandang dan perilaku kita terhadap alam, bukan menjadikan curah hujan yang tinggi sebagai dalih atas prilaku kita yg selama ini paling besar kontribusinya merusak alam.

Penulis : Abdul Kadir Jaelani, Pegiat Literasi.



×
Berita Terbaru Update