Foto : Gedung ASABRI |
Corong Demokrasi,- Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga orang tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi pada Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perum Perindo) tahun 2016-2019.
Ketiga tersangka tersebut ialah NMB selaku Direktur PT Prima Pangan Madani, LS selaku Direktur PT Kemilau Bintang Timur dan WP selaku Karyawan BUMN/Mantan Vice President Perdagangan, Penangkapan dan Pengelolaan Perum Perindo berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Kejagung pada 21 Oktober 2021.
Nama NMB mengacu pada Nabil M. Basyuni sebagai Direktur Prima Pangan Madani, lalu LS mengacu ke Lalam Sarlam sebagai Direktur Kemilau Bintang, dan WS mengacu ke Wenny Prihatini, mantan VP Perdagangan di Perum Perindo periode tersebut.
"Untuk mempercepat proses penyidikan, selanjutnya terhadap tiga tersangka dilakukan penahanan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Leonard Eben Ezer, dalam keterangannya, dikutip Kamis (21/10/2021).
Modus operandi kasus korupsi di Perum Perinda bermula saat perusahaan di tahun 2017 menerbitkan Surat Hutang Jangka Menengah atau Medium Term Notes (MTN) dan mendapatkan dana sebesar Rp 200 miliar.
Perum Perindo menggunakannya sebagian besar dananya untuk modal kerja perdagangan.
Namun, faktanya penggunaan dana MTN tersebut tidak digunakan sesuai dengan peruntukanannya. Metode yang digunakan dalam bisnis perdagangan ikan tersebut adalah metode jual beli ikan putus.
"Dalam penunjukan mitra bisnis perdagangan ikan tersebut di atas, Perindo melalui Divisi P3/SBU FTP tidak ada melakukan analisa usaha, rencana keuangan dan proyeksi pengembangan usaha," kata Leonard.
Selain dari itu, dalam melaksanakan bisnis perdagangan ikan tersebut beberapa pihak tidak dibuatkan perjanjian kerja sama, tidak ada berita acara serah terima barang, tidak ada laporan jual beli ikan dan tidak ada dari pihak Perindo yang ditempatkan dalam penyerahan ikan dari supplier kepada mitra bisnis Perum Perindo.
Akibat penyimpangan dalam metode penunjukan mitra bisnis perdagangan ikan oleh Perum Perindo, sehingga menimbulkan verifikasi syarat pencairan dana bisnis yang tidak benar dan menimbulkan transaksi-transaksi fiktif yang dilakukan oleh mitra bisnis perdagangan ikan Perum Perindo.
Kemudian transaksi-transaksi fiktif tersebut menjadi tunggakan pembayaran mitra bisnis perdagangan ikan kepada Perum Perindo kurang lebih sebesar Rp 149 miliar.
Kasus kerugian BUMN yang dilakukan melalui produk pasar modal juga sebelumnya terjadi di PT Asabri (Persero) yang menyebabkan negara merugi hingga Rp 23 triliun, berdasarkan hitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Kasus Asabri ini membuat Korps Adhyaksa menetapkan 13 sebagai tersangka di kasus ini.
Mereka antara lain Teddy Tjokrosaputro (Presiden Direktur PT Rimo International Lestari Tbk/RIMO), Edward Seky Soeryadjaya (EES), mantan Direktur Ortus Holding, Bety (B), Komisaris Utama Milenium Sekuritas, dan Rennier A R Latief (RARL), President Commisioner Sekawan Inti Pratama (periode 2015).
Lalu berikutnya sembilan tersangka sebelumnya yakni Mayjen Purn Adam Rachmat Damiri (ARD) sebagai Direktur Utama Asabri periode 2011-2016, Letjen Purn Sonny Widjaja (SW) sebagai Direktur Utama Asabri periode 2016-2020, dan Bachtiar Effendi (BE) sebagai Kepala Divisi Keuangan dan Investasi Asabri periode 2012-2015.
Lainnya yakni Hari Setianto (HS), Direktur Investasi dan Keuangan Asabri periode 2013-2019.
Selanjutnya, Ilham W Siregar (IWS), Kepala Divisi Investasi Asabri periode 2012-2017 (sudah meninggal dunia 31 Juli 2021), Lukman Purnomosidi (LP), Presiden Direktur PT Prima Jaringan & Dirut PT Eureka Prima Jakarta Tbk (LCGP), Heru Hidayat (HH) Presiden PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM), Bentjok sebagai Komisaris PT Hanson International Tbk (MYRX) dan Jimmy Sutopo (JS), Direktur PT Jakarta Emiten Investor Relationship.
Menurut data Kejagung, Asabri menempatkan porsi investasi di reksa dana sebesar 24% dan saham sebesar 14,53%.
Berdasarkan penjelasan Kejagung, modus Asabri dilakukan para tersangka dengan membeli atau menukar saham dalam portofolio Asabri dengan saham-saham milik Heru, Benny dan satu pihak lainnya yakni Lukman Purnomosidi.
Lukman merupakan Direktur Utama Prima Jaringan yang bukan merupakan konsultan investasi ataupun MI (manajer investasi) dan juga sekaligus Dirut PT Eureka Prima Jakarta Tbk (LCGP).
Penempatan dana ke saham-saham milik ketiga pihak ini dilakukan dengan harga yang telah dimanipulasi sehingga bernilai tinggi. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa kinerja portofolio investasi Asabri terlihat baik.
Setelah saham-saham ini masuk sebagai portofolio Asabri, kemudian ditransaksikan dan dikendalikan oleh ketiga orang tersebut. Sebab, berdasarkan kesepakatan saham tersebut harus terlihat likuid dan bernilai tinggi.
Saham-saham non-likuid itu sendiri dimanipulasi sedemikian rupa agar terlihat ramai transaksi dengan cara melakukan transaksi semu yakni saham dijual dan dibeli oleh pihak yang sama dengan nominee (nama alias) yang berbeda agar tidak terdeteksi oleh regulator
Ketika harga sahamnya turun, Asabri tidak dapat menjual sahamnya karena akan menimbulkan kerugian sehingga pihak Benny dan Heru terpaksa menyiapkan nominee (nama alias) untuk membeli di harga atas dan kemudian dibuatkan reksa dana dengan underlying asset saham dengan fundamental dipertanyakan itu untuk kemudian dibeli oleh Asabri.
Setelah saham-saham berfundamental tersebut menjadi milik Asabri, kemudian saham-saham tersebut ditransaksikan atau dikendalikan oleh pihak Heru Hidayat, Bentjok, dan Lukman berdasarkan kesepakatan bersama dengan Direksi Asabri.
"Sehingga seolah-olah saham tersebut bernilai tinggi dan likuid, padahal transaksi-transaksi yang dilakukan hanya transaksi semu dan menguntungkan pihak HH, BTS dan LP serta merugikan investasi atau keuangan Asabri karena Asabri menjual saham-saham dalam portofolionya dengan harga di bawah harga perolehan saham-saham tersebut," tulis keterangan resmi Kejagung.
(*)