Foto : Edhy Prabowo. |
Corong Demokrasi,- Mantan Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Edhy Prabowo divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan karena menerima suap senilai Rp 25,7 miliar dari pengusaha eksportir benih bening lobster (BBL) atau benur.
"Menyatakan Terdakwa Edhy Prabowo terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa 5 tahun dan pidana denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan," ujar hakim ketua Albertus Usada di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, seperti dikutip dari detikcom, Kamis (15/7/2021).
Selain itu, hakim menjatuhkan hukuman ke Edhy membayar uang pengganti Rp 10 miliar.
"Menghukum terdakwa untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 9.687.447.219 dan uang sejumlah US$ 77 ribu dengan memperhitungkan uang yang telah dikembalikan oleh terdakwa, apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti dalam waktu 1 bulan setelah putusan memperoleh hukum tetap maka harta benda disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti, dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda untuk mencukupi uang pengganti maka dipidana penjara selama 2 tahun," ujar hakim ketua Albertus Usada.
Jika ditotal dari uang pengganti yang disebut jaksa, nilai keseluruhannya adalah Rp 10.804.486.219.
Selain itu, hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik selama 3 tahun. Pidana tambahan ini berlaku setelah Edhy menjalani masa pidana pokoknya.
"Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok," tutur hakim.
Adapun hal yang meringankan adalah Edhy sopan dan belum pernah dihukum serta sebagian aset yang diperoleh dari korupsi telah disita. Sedangkan hal yang memberatkannya adalah Edhy dianggap tidak mendukung program pemerintah, Edhy juga dianggap tidak memberi teladan yang baik sebagai pejabat dan telah menikmati hasil korupsi.
Sementara itu. akim anggota I, Suparman Nyompa, yang mengadili perkara ini mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion terkait vonis Edhy. Hakim Suparman keberatan apabila Edhy dijatuhi vonis melanggar Pasal 12 huruf a UU tentang Pemberantasan Tipikor.
"Bahwa hakim anggota 1 berpendapat sesungguhnya terdakwa (Edhy Prabowo) hanya melanggar ketentuan pasal 11 undang-undang RI Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 pada dakwaan alternatif kedua," ujar Suparman.
Alasannya antara lain Suparman berkeyakinan Edhy tidak mengetahui uang US$ 77 ribu dari Direktur PT DPPP yang diterima Stafsusnya bernama Safri. Hakim Suparman mengatakan dalam sidang tidak terungkap bahwa Edhy mengarahkan anak buahnya untuk menerima suap atau meminta uang dari pengusaha eksportir benur.
"Bahwa dalam persidangan tidak ada bukti dan tidak ada fakta jika terdakwa Edhy Prabowo minta uang, atau memerintahkan kepada tim uji tuntas atau due diligence atau memperoleh hadiah dari Suharjito yang meminta dan menerima uang sejumlah USD 77 ribu adalah Safri selaku wakil ketua tim uji tuntas, namun tidak ada bukti Safri melakukan perbuatan tersebut atas perintah ataupun diketahui oleh terdakwa Edhy Prabowo," kata hakim Suparman.
"Bahwa jika ada arahan dari terdakwa Edhy Prabowo terhadap bawahannya, baik kepada Tim uji tuntas maupun kepada dirjen, tidak lain terdakwa Edhy Prabowo hanya menekankan dan meminta agar setiap permohonan yang masuk untuk budidaya dan ekspor BBL (benur) agar tidak dipersulit, tapi justru harus dipermudah, begitu juga di sini yang lain dalam usaha perikanan, yaitu izin kapal tangkap ikan yang sebelumnya memakan waktu cukup lama, kemudian setelah terdakwa Edhy Prabowo menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan izin usaha kapal penangkap ikan dapat selesai dalam waktu yang singkat," lanjutnya.
Selain itu, hakim Suparman mengungkapkan, dalam sidang, terbukti kalau Safri menyerahkan US$ 77 ribu tidak ke Edhy, melainkan ke Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadi Edhy. Tak hanya itu, Edhy juga disebut hakim Suparman tidak menandatangani izin ekspor dan budi daya benur PT DPPP.
Menurut Suparman, Edhy itu bukan melanggar Pasal 12 huruf a UU Tipikor sebagaimana dakwaan pertama, tetapi dia melanggar Pasal 11 UU Tipikor sebagaimana dakwaan subsider. Hal ini dibuktikan oleh fakta bahwa Edhy tidak mengetahui uang US$ 77 ribu diterima Amiril dan disetor ke kartu debit, dimana kartu debit itu digunakan Edhy Prabowo untuk membayar belanjaan dia dan istri, Iis Rosita Dewi selama di Amerika Serikat.
"Bahwa sesuai fakta yang diungkap di sidang bahwa Amiril Mukminin selaku Sespri terdakwa bertugas melayani segala kebutuhan terdakwa baik untuk kepentingan dinas, maupun pribadi mengenai keuangan segala biaya terdakwa juga dibayar atau diurus oleh Amiril Mukminin," jelas Suparman.
*(don)