Foto : Ist |
Corong Demokrasi,- Jaksa penuntut umum menuntut mantan anggota IV Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Rizal Djalil dengan pidana enam tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider tiga bulan kurungan terkait kasus suap Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM).
"Menuntut, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Rizal Djalil selama enam tahun penjara dengan dikurangi selama terdakwa menjalani masa penahanan," kata jaksa Arin Kurnia Sari saat membacakan amar tuntutan, Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (12/4/2021).
Jaksa juga menuntut agar Rizal dihukum dengan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp1 miliar subsider satu tahun kurungan.
Rizal juga dituntut hukuman pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun setelah dirinya selesai menjalani pidana pokok.
Rizal dinilai melanggar Pasal 12 huruf b Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam pertimbangannya, jaksa mengungkapkan sejumlah hal yang memberatkan dan meringankan. Perbuatan Rizal, menurut jaksa, tidak mendukung upaya pemerintah yang sedang giat-giatnya dalam memberantas korupsi.
Selain itu, Rizal disebut jaksa tidak berterus terang mengakui perbuatannya dan telah mencoreng nama baik BPK.
"Hal meringankan, terdakwa belum pernah dihukum," ucap jaksa.
Rizal dinilai terbukti menerima suap $100 ribu atau sekitar Rp1 miliar dari Komisaris Utama PT Minarta Dutahutama, Leonardo Jusminarta Prasetyo.
Uang itu diberikan lantaran Rizal telah mengupayakan perusahaan tersebut menjadi pelaksana proyek pembangunan Jaringan Distribusi Utama Sistem Penyediaan Air Minum Ibu Kota Kecamatan (JDU SPAM IKK) Hongaria Paket 2 pada Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Adapun awal tindak pidana korupsi terjadi sekira pada tahun 2016 di mana Rizal diperkenalkan kepada Leonardo oleh mantan adik iparnya bernama Febi Festia.
Saat pertemuan di sebuah hotel di Nusa Dua Bali, Leonardo meminta bantuan Rizal untuk mengerjakan proyek di Kementerian PUPR.
Pada Oktober 2016, Rizal dengan kewenangan yang dimilikinya memanggil Direktur Pengembangan SPAM PUPR Mochammad Natsir untuk menyampaikan hasil temuan terhadap proyek pembangunan tempat evakuasi sementara di Provinsi Banten.
Natsir kemudian menyatakan bahwa temuan terhadap proyek tersebut bukan ranah direktoratnya, namun Rizal menjawab "Saya tahunya pak Nasirlah".
Rizal membawa nama Leonardo dalam pertemuan dengan Natsir. Sore harinya, terjadi pertemuan antara Leonardo yang didampingi oleh Febi dengan Natsir di Gedung Kementerian PUPR, Jalan Pattimura Nomor 20, Jakarta Selatan.
Leonardo mengenalkan diri sebagai seorang kontraktor yang berkeinginan untuk ikut serta dalam lelang proyek di lingkungan Direktorat Pengembangan SPAM. Natsir lantas mempersilakan agar Leonardo mengikuti lelang.
Adapun Penyerahan uang dari Leonardo kepada Rizal melalui perantara Febi dengan putra Rizal, Dipo Nurhadi Ilham. Uang itu ditukarkan ke dalam mata uang rupiah sebelum sampai ke tangan Rizal.
Jaksa juga menuntut agar Rizal dihukum dengan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp1 miliar subsider satu tahun kurungan.
Rizal juga dituntut hukuman pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun setelah dirinya selesai menjalani pidana pokok.
Rizal dinilai melanggar Pasal 12 huruf b Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam pertimbangannya, jaksa mengungkapkan sejumlah hal yang memberatkan dan meringankan. Perbuatan Rizal, menurut jaksa, tidak mendukung upaya pemerintah yang sedang giat-giatnya dalam memberantas korupsi.
Selain itu, Rizal disebut jaksa tidak berterus terang mengakui perbuatannya dan telah mencoreng nama baik BPK.
"Hal meringankan, terdakwa belum pernah dihukum," ucap jaksa.
Rizal dinilai terbukti menerima suap $100 ribu atau sekitar Rp1 miliar dari Komisaris Utama PT Minarta Dutahutama, Leonardo Jusminarta Prasetyo.
Uang itu diberikan lantaran Rizal telah mengupayakan perusahaan tersebut menjadi pelaksana proyek pembangunan Jaringan Distribusi Utama Sistem Penyediaan Air Minum Ibu Kota Kecamatan (JDU SPAM IKK) Hongaria Paket 2 pada Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Adapun awal tindak pidana korupsi terjadi sekira pada tahun 2016 di mana Rizal diperkenalkan kepada Leonardo oleh mantan adik iparnya bernama Febi Festia.
Saat pertemuan di sebuah hotel di Nusa Dua Bali, Leonardo meminta bantuan Rizal untuk mengerjakan proyek di Kementerian PUPR.
Pada Oktober 2016, Rizal dengan kewenangan yang dimilikinya memanggil Direktur Pengembangan SPAM PUPR Mochammad Natsir untuk menyampaikan hasil temuan terhadap proyek pembangunan tempat evakuasi sementara di Provinsi Banten.
Natsir kemudian menyatakan bahwa temuan terhadap proyek tersebut bukan ranah direktoratnya, namun Rizal menjawab "Saya tahunya pak Nasirlah".
Rizal membawa nama Leonardo dalam pertemuan dengan Natsir. Sore harinya, terjadi pertemuan antara Leonardo yang didampingi oleh Febi dengan Natsir di Gedung Kementerian PUPR, Jalan Pattimura Nomor 20, Jakarta Selatan.
Leonardo mengenalkan diri sebagai seorang kontraktor yang berkeinginan untuk ikut serta dalam lelang proyek di lingkungan Direktorat Pengembangan SPAM. Natsir lantas mempersilakan agar Leonardo mengikuti lelang.
Adapun Penyerahan uang dari Leonardo kepada Rizal melalui perantara Febi dengan putra Rizal, Dipo Nurhadi Ilham. Uang itu ditukarkan ke dalam mata uang rupiah sebelum sampai ke tangan Rizal.
*(don)