Foto : Ist |
Corong Demokrasi,- Sejumlah pengamat menganggap Kejaksaan Agung (Kejagung) harus mengajukan kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta terhadap pengurangan masa tahanan terdakwa korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero), Hary Prasetyo, dari semula seumur hidup menjadi hanya 20 tahun.
Pakar hukum tindak pidana korupsi, Yenti Ganarsih, mengatakan bahwa putusan hakim di PT DKI Jakarta yang meringankan hukuman terhadap mantan Direktur Keuangan Jiwasraya itu patut dipertanyakan.
"Kita hormati keputusan hakim, tapi jaksa masih bisa kasasi," kata Yenti kepada wartawan, Kamis (25/2/2021).
Dalam perkara ini,Yenti menilai bahwa hukuman seumur hidup yang dijatuhkan oleh hakim pada pengadilan tingkat pertama sebenarnya dapat memberi efek jera bagi para koruptor di Indonesia.
Bukan hanya itu, kasus korupsi tersebut juga telah merugikan keuangan negara yang sangat besar, hingga Rp16,8 triliun. Dalam pertimbangan lain, perusahaan pelat merah yang notabene bergerak di bidang asuransi itu pun sampai mengalami gagal bayar.
Yenti menilai keputusan pengurangan masa tahanan yang dikeluarkan oleh PT DKI Jakarta tak memikirkan efek jera mengingat kerugian negara yang ditimbulkan.
"Kita lihat efek jeranya seperti apa? Dia merugikan negara gede ya nilainya. Kalau hakim mengurangi hukumannya, harus ada pemikiran efek jera lainnya. Misal, uang penggantinya setara enggak?" kata dia.
Di lain sisi, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, juga menilai Kejagung sepatutnya melayangkan upaya hukum kasasi. Pasalnya, institusi tersebut mewakili rakyat banyak dalam perkara ini.
"Hukuman seumur hidup di PN adalah cerminan rasa keadilan dalam masyarakat. Jadi, Kejaksaan yang mewakili rakyat, nasabah, dan negara sudah sewajarnya mengajukan upaya hukum kasasi," kataFickar.
Meski demikian, dia mengatakan bahwa penilaian hakim dalam setiap persidangan wajar berbeda-beda. Namun, penambahan atau pengurangan masa hukuman yang ditentukan menjadi penggambaran rasa keadilan masyarakat di mata hakim.
Selain itu juga, penilaian hakim terkadang dapat bergantung pada tren pemberian putusan yang sedang terjadi saat itu. Dia tidak bisa mengetahui secara pasti apakah alasan tersebut turut menjadi pertimbangan hakim PT DKI Jakarta dalam memutus perkara Jiwasraya.
"Sangat mungkin majelis hakim menggantungkan standar penghukuman pada tren, meskipun ada perma yang sudah mengatur itu," ucap dia.
Perkara banding yang teregister dengan nomor: 3/PID.TPK/2021/PT DKI ini diadili oleh Hakim Ketua Haryono dengan anggota Brlafat Akbar dan Reny Halida Ilham Malik.
Majelis hakim banding menilai pidana penjara seumur hidup yang diberikan oleh pengadilan tingkat pertama kurang memenuhi tatanan teori pemidanaan dalam sistem hukum di Indonesia. Oleh karena itu, PT DKI tidak sependapat dengan vonis di pengadilan tingkat pertama.
Hakim berpendapat suatu keputusan harus bisa menjadi instrumen koreksi dalam pribadi si Pelaku/Terdakwa/Terpidana serta merupakan jawaban dari keadilan responsif bagi masyarakat, terutama menuju perbaikan tatanan moral dan sosial.
Dalam pertimbangan putusan disebutkan bahwa tujuan pemidanaan tidak semata-mata pembalasan dengan segala konsekuensi keterbatasan ruang dan lingkungan, rasa malu, dan pengekangan bagi si Terpidana.
"Kita hormati keputusan hakim, tapi jaksa masih bisa kasasi," kata Yenti kepada wartawan, Kamis (25/2/2021).
Dalam perkara ini,Yenti menilai bahwa hukuman seumur hidup yang dijatuhkan oleh hakim pada pengadilan tingkat pertama sebenarnya dapat memberi efek jera bagi para koruptor di Indonesia.
Bukan hanya itu, kasus korupsi tersebut juga telah merugikan keuangan negara yang sangat besar, hingga Rp16,8 triliun. Dalam pertimbangan lain, perusahaan pelat merah yang notabene bergerak di bidang asuransi itu pun sampai mengalami gagal bayar.
Yenti menilai keputusan pengurangan masa tahanan yang dikeluarkan oleh PT DKI Jakarta tak memikirkan efek jera mengingat kerugian negara yang ditimbulkan.
"Kita lihat efek jeranya seperti apa? Dia merugikan negara gede ya nilainya. Kalau hakim mengurangi hukumannya, harus ada pemikiran efek jera lainnya. Misal, uang penggantinya setara enggak?" kata dia.
Di lain sisi, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, juga menilai Kejagung sepatutnya melayangkan upaya hukum kasasi. Pasalnya, institusi tersebut mewakili rakyat banyak dalam perkara ini.
"Hukuman seumur hidup di PN adalah cerminan rasa keadilan dalam masyarakat. Jadi, Kejaksaan yang mewakili rakyat, nasabah, dan negara sudah sewajarnya mengajukan upaya hukum kasasi," kataFickar.
Meski demikian, dia mengatakan bahwa penilaian hakim dalam setiap persidangan wajar berbeda-beda. Namun, penambahan atau pengurangan masa hukuman yang ditentukan menjadi penggambaran rasa keadilan masyarakat di mata hakim.
Selain itu juga, penilaian hakim terkadang dapat bergantung pada tren pemberian putusan yang sedang terjadi saat itu. Dia tidak bisa mengetahui secara pasti apakah alasan tersebut turut menjadi pertimbangan hakim PT DKI Jakarta dalam memutus perkara Jiwasraya.
"Sangat mungkin majelis hakim menggantungkan standar penghukuman pada tren, meskipun ada perma yang sudah mengatur itu," ucap dia.
Perkara banding yang teregister dengan nomor: 3/PID.TPK/2021/PT DKI ini diadili oleh Hakim Ketua Haryono dengan anggota Brlafat Akbar dan Reny Halida Ilham Malik.
Majelis hakim banding menilai pidana penjara seumur hidup yang diberikan oleh pengadilan tingkat pertama kurang memenuhi tatanan teori pemidanaan dalam sistem hukum di Indonesia. Oleh karena itu, PT DKI tidak sependapat dengan vonis di pengadilan tingkat pertama.
Hakim berpendapat suatu keputusan harus bisa menjadi instrumen koreksi dalam pribadi si Pelaku/Terdakwa/Terpidana serta merupakan jawaban dari keadilan responsif bagi masyarakat, terutama menuju perbaikan tatanan moral dan sosial.
Dalam pertimbangan putusan disebutkan bahwa tujuan pemidanaan tidak semata-mata pembalasan dengan segala konsekuensi keterbatasan ruang dan lingkungan, rasa malu, dan pengekangan bagi si Terpidana.
*(don)