Foto : Eks Menteri KKP, Edhy Prabowo |
Corong Demokrasi,- Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menyatakan siap dengan segala konsekuensi hukum atas kasus dugaan korupsi penetapan izin ekspor benih lobster yang dilakukannya, termasuk dihukum mati.
"Jangankan dihukum mati, lebih dari itu pun saya siap, yang penting demi masyarakat saya," kata Edhy usai menjalani pemeriksaan di Gedung Dwiwarna KPK, Senin (22/2/2021).
"Saya tidak bicara lantang dengan menutupi kesalahan. Saya tidak berlari dari kesalahan yang ada. Silakan proses peradilan berjalan, makanya saya lakukan ini. Saya tidak akan lari dan saya tidak bicara bahwa yang saya lakukan pasti benar, enggak," lanjutnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Edhy sebagai tersangka dengan sangkaan Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Ancaman pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.
Wacana hukuman mati terhadap Edhy belakangan dilontarkan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM, Eddy Edward Omar Sharif Hiariej. Ia menilai Edhy dan juga eks Menteri Sosial Juliari Peter Batubara layak dituntut hukuman mati.
Edward menuturkan alasan pemberat bagi kedua mantan menteri tersebut, yaitu mereka melakukan korupsi di masa pandemi dan mereka melakukan kejahatan di dalam jabatan.
KPK sendiri mengungkapkan penerapan pasal dengan ancaman hukuman mati harus memenuhi sejumlah unsur seperti korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, hingga menimbulkan kerugian atau perekonomian negara sebagaimana ketentuan Pasal 2 UU Tipikor.
Sementara Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII), Usman Hamid, menyebut hukuman mati bukan merupakan langkah yang tepat. Menurutnya, hukuman mati hanya akan melanggar hak asasi manusia (HAM) tanpa memberikan efek jera terhadap setiap perilaku korup.
Hukuman penjara seumur hidup pun disarankan sebagai bentuk pemidanaan yang paling berat bagi koruptor.
Dalam perkara dugaan korupsi penetapan izin ekspor benih lobster, lembaga antirasuah sudah menetapkan total tujuh orang sebagai tersangka.
Enam orang sebagai penerima suap yakni Edhy Prabowo; stafsus Edhy, Safri dan Andreau Misanta Pribadi; Pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK), Siswadi; staf istri Edhy, Ainul Faqih; dan sekretaris pribadi Edhy, Amiril Mukminin. Sedangkan satu tersangka pemberi suap adalah Suharjito, yang saat ini tengah menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
"Saya tidak bicara lantang dengan menutupi kesalahan. Saya tidak berlari dari kesalahan yang ada. Silakan proses peradilan berjalan, makanya saya lakukan ini. Saya tidak akan lari dan saya tidak bicara bahwa yang saya lakukan pasti benar, enggak," lanjutnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Edhy sebagai tersangka dengan sangkaan Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Ancaman pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.
Wacana hukuman mati terhadap Edhy belakangan dilontarkan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM, Eddy Edward Omar Sharif Hiariej. Ia menilai Edhy dan juga eks Menteri Sosial Juliari Peter Batubara layak dituntut hukuman mati.
Edward menuturkan alasan pemberat bagi kedua mantan menteri tersebut, yaitu mereka melakukan korupsi di masa pandemi dan mereka melakukan kejahatan di dalam jabatan.
KPK sendiri mengungkapkan penerapan pasal dengan ancaman hukuman mati harus memenuhi sejumlah unsur seperti korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, hingga menimbulkan kerugian atau perekonomian negara sebagaimana ketentuan Pasal 2 UU Tipikor.
Sementara Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII), Usman Hamid, menyebut hukuman mati bukan merupakan langkah yang tepat. Menurutnya, hukuman mati hanya akan melanggar hak asasi manusia (HAM) tanpa memberikan efek jera terhadap setiap perilaku korup.
Hukuman penjara seumur hidup pun disarankan sebagai bentuk pemidanaan yang paling berat bagi koruptor.
Dalam perkara dugaan korupsi penetapan izin ekspor benih lobster, lembaga antirasuah sudah menetapkan total tujuh orang sebagai tersangka.
Enam orang sebagai penerima suap yakni Edhy Prabowo; stafsus Edhy, Safri dan Andreau Misanta Pribadi; Pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK), Siswadi; staf istri Edhy, Ainul Faqih; dan sekretaris pribadi Edhy, Amiril Mukminin. Sedangkan satu tersangka pemberi suap adalah Suharjito, yang saat ini tengah menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
*(don)