Foto : Industri nikel |
Corong Demokrasi,- Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi mengaku tidak gentar dengan gugatan Uni Eropa terhadap Indonesia dalam hal kebijakan Indonesia terkait bahan mentah (DS 592). Indonesia memang sudah tidak lagi mengekspor bijih nikel sejak Januari 2020.
Nyatanya Eropa tidak suka dan meminta pembentukan Panel WTO pada 14 Januari 2021 untuk menyelesaikan kasus tersebut.
"Eropa ganggu kita dan mengatakan karena kita menahan nikel kita ke Eropa. Saya bilang bukan karena nikelnya nggak ada, mereka beli nikel kita kecil, nggak sampai 2%. Tapi mereka ketakutan bahwa kita yang mestinya ekspor barang mentah sekarang jadi barang industri," katanya dalam Media Group News Summit 2021, Rabu (27/1/21).
Gugatan itu tidak lepas kebijakan terbaru Indonesia yang enggan mengekspor bijih nikel atau bahan mentah karena tak ada nilai tambah. Sebagai dasar, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Hal ini sesuai amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara (minerba).
"Sekarang kita dituntut di Eropa, ya kita ladeni, karena masalah sengketa biasa, jangan sakit hati, baper," sebutnya.
Uni Eropa sebenarnya mengajukan permintaan konsultasi pada 22 November 2019 sebagai respons diterapkannya larangan ekspor bijih nikel oleh Pemerintah Indonesia mulai 1 Januari 2020.
Uni Eropa menilai kebijakan Pemerintah Indonesia tersebut melanggar sejumlah ketentuan WTO dan berdampak negatif pada daya saing industri baja di Uni Eropa. Permintaan pertemuan konsultasi Uni Eropa disetujui Indonesia pada 29 November 2019 dan pertemuan telah dilaksanakan pada 30 dan 31 Januari 2020.
Panasnya hubungan kedua pihak ini juga terjadi pada komoditas lain, yakni biodiesel. Pemerintah Indonesia meyakini, Uni Eropa yang mengadopsi kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) ini, telah menggunakan berbagai alasan, termasuk isu lingkungan untuk menghambat kepentingan Indonesia dalam memajukan sektor sawit nasional, meskipun telah mengadopsi prinsip-prinsip keberlanjutan di dalam pengelolaannya.
Kebijakan RED II yang diadopsi Uni Eropa akan berdampak terhadap keberlangsungan sektor sawit di Indonesia yang merupakan salah satu sektor andalan perekonomian nasional dan masyarakat luas.
Uni Eropa telah menggunakan parameter yang tidak ilmiah dalam upayanya menghapuskan minyak sawit sebagai input produksi biodiesel, dengan mengabaikan fakta bahwa minyak sawit lebih ekonomis, produktif, lebih sedikit memakan lahan, dan membantu peningkatan ekonomi masyarakat dibandingkan minyak nabati manapun. Cara itu digunakan Uni Eropa untuk memajukan industri minyak nabatinya yang kurang produktif dan tidak lebih efisien sebagai input produksi biodiesel.
Atas dasar itu setelah melalui proses konsultasi yang panjang namun tidak diiringi adanya perkembangan positif dari Uni Eropa, Indonesia telah mengambil langkah hukum melalui forum penyelesaian sengketa di WTO (DS 593).
"Sekarang kita dituntut di Eropa, ya kita ladeni, karena masalah sengketa biasa, jangan sakit hati, baper," sebutnya.
Uni Eropa sebenarnya mengajukan permintaan konsultasi pada 22 November 2019 sebagai respons diterapkannya larangan ekspor bijih nikel oleh Pemerintah Indonesia mulai 1 Januari 2020.
Uni Eropa menilai kebijakan Pemerintah Indonesia tersebut melanggar sejumlah ketentuan WTO dan berdampak negatif pada daya saing industri baja di Uni Eropa. Permintaan pertemuan konsultasi Uni Eropa disetujui Indonesia pada 29 November 2019 dan pertemuan telah dilaksanakan pada 30 dan 31 Januari 2020.
Panasnya hubungan kedua pihak ini juga terjadi pada komoditas lain, yakni biodiesel. Pemerintah Indonesia meyakini, Uni Eropa yang mengadopsi kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) ini, telah menggunakan berbagai alasan, termasuk isu lingkungan untuk menghambat kepentingan Indonesia dalam memajukan sektor sawit nasional, meskipun telah mengadopsi prinsip-prinsip keberlanjutan di dalam pengelolaannya.
Kebijakan RED II yang diadopsi Uni Eropa akan berdampak terhadap keberlangsungan sektor sawit di Indonesia yang merupakan salah satu sektor andalan perekonomian nasional dan masyarakat luas.
Uni Eropa telah menggunakan parameter yang tidak ilmiah dalam upayanya menghapuskan minyak sawit sebagai input produksi biodiesel, dengan mengabaikan fakta bahwa minyak sawit lebih ekonomis, produktif, lebih sedikit memakan lahan, dan membantu peningkatan ekonomi masyarakat dibandingkan minyak nabati manapun. Cara itu digunakan Uni Eropa untuk memajukan industri minyak nabatinya yang kurang produktif dan tidak lebih efisien sebagai input produksi biodiesel.
Atas dasar itu setelah melalui proses konsultasi yang panjang namun tidak diiringi adanya perkembangan positif dari Uni Eropa, Indonesia telah mengambil langkah hukum melalui forum penyelesaian sengketa di WTO (DS 593).
*(don)