Foto : Ist |
Jakarta, Corong Demokrasi,- Harga minyak mentah dunia kembali anjlok di pekan ini, hingga kembali ke bawah US$ 40 per barel. Minyak jenis Brent bahkan menyentuh level terendah dalam lebih dari 3 bulan terakhir.
Melansir data Refinitiv, harga minyak Brent sepanjang pekan ini merosot 6,3% ke US$ 39,27 per barel, level tersebut merupakan terendah sejak 15 Juni. Sementara minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) anjlok nyaris 8% ke US$ 37,05 per barel.
Minyak mentah merupakan salah satu indikator kesehatan perekonomian global. Saat harganya turun artinya permintaan sedang lesu akibat kemerosotan aktivitas perekonomian. Saat aktivitas perekonomian merosot dalam waktu yang lama, maka akan terjadi resesi.
Kuartal III-2020 yang baru saja berakhir bisa memberikan gambaran apakah dunia tenggelam dalam resesi, atau berhasil bangkit. Di kuartal II lalu, banyak sekali negara-negara yang mengalami resesi, termasuk Amerika Serikat (AS), sang negara Adi Kuasa dengan nilai perekonomian terbesar di dunia.
Produk Domestik Bruto (PDB) AS di kuartal II lalu mengalami kontraksi 31,1% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized), sementara di kuartal I-2020 mengalami kontraksi 5%.
Negara-negara Eropa pun turut berguguran ke jurang resesi, penyebabnya sama, pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang membuat pemerintah membatasi aktivitas warganya, bahkan melakukan karantina (lockdown) wilayah beberapa bulan lalu. Saat hal itu dilakukan, permintaan minyak mentah untuk bahan bakar ataupun industri tentunya merosot drastis.
Kabar buruknya, kasus Covid-19 di Eropa kembali mengalami peningkatan belakangan ini, tentunya berisiko membuat pemulihan ekonomi berjalan lambat hingga memicu resesi berkepanjangan. Permintaan minyak mentah pun kembali terancam.
"Meningkatnya jumlah kasus Covid-19 terus meningkatkan alarm permintaan energi," kata Avtar Sandu, manajer komoditas senior di Phillip Futures, mengutip Reuters.
Ketika permintaan sedang terancam, supply justru mengalami peningkatan, lengkap sudah penderitaan minyak mentah.
Hasil survei Reuters menunjukkan supply dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak Mentah (Organization of the Petroleum Exporting Countries/ OPEC) mengalami kenakan 160.000 barel per hari pada September, dibandingkan bulan sebelumnya.
Kenaikan tersebut disebabkan meningkatnya produksi minyak di Libya dan Iran, 2 anggora OPEC yang tidak ikut dalam perjanjian pemangkasan produksi antara OPEC bersama Rusia dan beberapa negara lainnya, atau yang disebut OPEC+.
Kuartal III-2020 yang baru saja berakhir bisa memberikan gambaran apakah dunia tenggelam dalam resesi, atau berhasil bangkit. Di kuartal II lalu, banyak sekali negara-negara yang mengalami resesi, termasuk Amerika Serikat (AS), sang negara Adi Kuasa dengan nilai perekonomian terbesar di dunia.
Produk Domestik Bruto (PDB) AS di kuartal II lalu mengalami kontraksi 31,1% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized), sementara di kuartal I-2020 mengalami kontraksi 5%.
Negara-negara Eropa pun turut berguguran ke jurang resesi, penyebabnya sama, pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang membuat pemerintah membatasi aktivitas warganya, bahkan melakukan karantina (lockdown) wilayah beberapa bulan lalu. Saat hal itu dilakukan, permintaan minyak mentah untuk bahan bakar ataupun industri tentunya merosot drastis.
Kabar buruknya, kasus Covid-19 di Eropa kembali mengalami peningkatan belakangan ini, tentunya berisiko membuat pemulihan ekonomi berjalan lambat hingga memicu resesi berkepanjangan. Permintaan minyak mentah pun kembali terancam.
"Meningkatnya jumlah kasus Covid-19 terus meningkatkan alarm permintaan energi," kata Avtar Sandu, manajer komoditas senior di Phillip Futures, mengutip Reuters.
Ketika permintaan sedang terancam, supply justru mengalami peningkatan, lengkap sudah penderitaan minyak mentah.
Hasil survei Reuters menunjukkan supply dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak Mentah (Organization of the Petroleum Exporting Countries/ OPEC) mengalami kenakan 160.000 barel per hari pada September, dibandingkan bulan sebelumnya.
Kenaikan tersebut disebabkan meningkatnya produksi minyak di Libya dan Iran, 2 anggora OPEC yang tidak ikut dalam perjanjian pemangkasan produksi antara OPEC bersama Rusia dan beberapa negara lainnya, atau yang disebut OPEC+.
*(ari)