Foto : Ist |
Kab. Manggarai, Corong Demokrasi,- Bentrok akibat konflik lahan adat kembali terjadi di Desa Pubabu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT). Terakhir, sebuah rumah milik salah satu warga Adat Besipae dibakar oleh sekelompok orang tak dikenal dari Desa Pollo.
Menurut Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Muhammad Arman, insiden itu terjadi usai masyarakat adat Besipae menerima kedatangan Kapolda NTT, (16/10/2020) lalu.
Saat itu polisi akan menjamin keamanan di wilayah tersebut usai bentrok beruntun beberapa hari sebelumnya. Namun, kata Arman, usai rombongan Kapolda meninggalkan lokasi sekitar pukul 12.00 WITA, sejumlah warga yang sebagian besar merupakan ibu-ibu dari desa Pollo menyerang ibu-ibu lain yang merupakan masyarakat adat Besipae.
Dalam bentrok tersebut, rumah milik Frans Sae dibakar."Bukan hanya pemukulan yang terjadi, rumah milik warga Pubabu atas nama Frans Sae dibakar," ujar Arman dalam keterangannya kepada awak media (17/10/2020).
Bukan hanya rumah, sejumlah barang berharga milik Frans yang berada di dalamnya berupa dokumen penting, perabotan rumah, alat bengkel dan uang tunai hasil pinjaman dari koperasi servian senilai Rp7 juta, bank BRI 10 Juta dan tabungan Rp1 juta ikut raib terbakar.
Arman menuturkan, peristiwa itu terjadi setelah warga Pubabu dipukul mundur dari lokasi kejadian. Sementara saat kejadian, hanya ada ibu-ibu Pubabu, warga dari luar, serta aparat dari TNI-Polri yang berjaga.
Bukan hanya rumah, sejumlah barang berharga milik Frans yang berada di dalamnya berupa dokumen penting, perabotan rumah, alat bengkel dan uang tunai hasil pinjaman dari koperasi servian senilai Rp7 juta, bank BRI 10 Juta dan tabungan Rp1 juta ikut raib terbakar.
Arman menuturkan, peristiwa itu terjadi setelah warga Pubabu dipukul mundur dari lokasi kejadian. Sementara saat kejadian, hanya ada ibu-ibu Pubabu, warga dari luar, serta aparat dari TNI-Polri yang berjaga.
Setelah kembali, masyarakat adat Besipae telah mendapati rumah milik Frans terbakar. Arman menyebutkan bahwa konflik horizontal antar warga di kawasan hutan Adat Pubabu-Besipae sengaja dibuat oleh pemerintah seiring rencana kembali mengambil alih lahan hutan Adat Pubabu milik masyarakat Adat Besipae.
"Jadi menurut kawan-kawan di lapangan, situasi ini sengaja diciptakan oleh pemerintah 'difetakomplikan' antara masyarakat. Politik devide et impera ala pemerintah," pungkasnya.
"Jadi menurut kawan-kawan di lapangan, situasi ini sengaja diciptakan oleh pemerintah 'difetakomplikan' antara masyarakat. Politik devide et impera ala pemerintah," pungkasnya.
Sementara akibat bentrok tersebut, sebanyak empat warga mengalami luka-luka, termasuk di antaranya ibu yang tengah hamil delapan bulan. Sedangkan sisanya, tiga perempuan yang mengalami kekerasan seperti dipukul hingga diinjak-injak.
Konflik yang terjadi di Hutan Adat Pubabu kembali memanas sejak bentrok terakhir terjadi pada Agustus 2020 akibat rencana pemerintah yang hendak memanfaatkan lahan sekitar 37 ribu meter persegi milik masyarakat Adat Besipae.
Penolakan itu buntut dari ambil alih hutan Adat Pubabu oleh pemerintah melalui sertifikat Hak Pakai No.00001 yang terbit tertanggal 19 Maret 2013 silam.
Kepala Biro dan Protokol Pemprov NTT, Marius Ardu Jelamu menyebut bahwa sejumlah warga yang menyampaikan penolakan terhadap rencana pemerintah adalah masyarakat pendatang di area hutan adat Pubabu.
Sementara itu, masyarakat adat diklaim menerima dan mendukung rencana pemerintah yang kembali ingin memanfaatkan lahan tersebut.
"Jadi pemilik tanah itu sangat senang karena pemerintah mau mengembangkan potensi di sana. Namun sejumlah orang yang dari dulu tinggal di situ tapi bukan pemilik mereka tidak rela kalau Pemprov mengembangkan lahan itu," ujar Marius kepada awak media (16/10/2020).
Sementara itu, masyarakat adat diklaim menerima dan mendukung rencana pemerintah yang kembali ingin memanfaatkan lahan tersebut.
"Jadi pemilik tanah itu sangat senang karena pemerintah mau mengembangkan potensi di sana. Namun sejumlah orang yang dari dulu tinggal di situ tapi bukan pemilik mereka tidak rela kalau Pemprov mengembangkan lahan itu," ujar Marius kepada awak media (16/10/2020).
*(ari)