Foto : Ilustrasi |
Jakarta, Corong Demokrasi,- Amerika Serikat memblokir impor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya yang diproduksi oleh FGV Holding Bhd Malaysia.
Pemblokiran ini terkait dengan kerja paksa yang dilakukan oleh perusahaan tersebut terhadap para pekerjanya.
Departemen Perlindungan Bea dan Perbatasan Amerika Serikat mengatakan pemblokiran ini dilakukan dengan penahanan kiriman perusahaan dan anak perusahaan FGV di semua pelabuhan masuk AS.
"Perintah tersebut merupakan hasil dari penyelidikan selama setahun yang mengungkapkan adanya penipuan, pembatasan pergerakan, isolasi, intimidasi, kekerasan fisik dan seksual terhadap tenaga kerja," dikutip, Sabtu (3/10/2020).
Departemen Perlindungan Bea dan Perbatasan Amerika Serikat mengatakan pemblokiran ini dilakukan dengan penahanan kiriman perusahaan dan anak perusahaan FGV di semua pelabuhan masuk AS.
"Perintah tersebut merupakan hasil dari penyelidikan selama setahun yang mengungkapkan adanya penipuan, pembatasan pergerakan, isolasi, intimidasi, kekerasan fisik dan seksual terhadap tenaga kerja," dikutip, Sabtu (3/10/2020).
Pemblokiran Bea Cukai AS ini muncul pula setelah media AS, Associated Press (AP) melaporkan investigasi yang mengklaim jutaan pekerja dari beberapa wilayah termiskin di Asia, yang bekerja untuk memproduksi minyak sawit, mengalami berbagai bentuk eksploitasi. Media ini menuding ada pekerja anak di bawah umur, perbudakan, dan tuduhan pemerkosaan.
AP News mengatakan telah mewawancarai lebih dari 130 karyawan serta mantan karyawan dari 24 perkebunan kelapa sawit di Malaysia dan Indonesia. Pekerja yang diwawancarai kebanyakan berasal dari Indonesia, Malaysia, Bangladesh, India, Nepal, Filipina, Kamboja, dan Myanmar, serta Muslim Rohingya tanpa kewarganegaraan.
Laporan tersebut menyebut perusahaan seperti Unilever, L'Oreal, Nestle, Procter & Gamble (P&G), Colgate-Palmolive, dan Ikea, serta beberapa nama bank raksasa, seperti Deutsche Bank, BNY Mellon, Citigroup, HSBC, dan Vanguard Group, dan Maybank, terlibat dalam masalah pelanggaran ini.
Laporan tersebut juga mengklaim bahwa jutaan pekerja dari beberapa wilayah termiskin di Asia, yang bekerja untuk memproduksi minyak sawit, mengalami berbagai bentuk eksploitasi. Dengan yang paling parah adalah adanya pekerja anak di bawah umur, perbudakan, dan tuduhan pemerkosaan.
AP News mengatakan telah mewawancarai lebih dari 130 karyawan serta mantan karyawan dari 24 perkebunan kelapa sawit di kedua negara. Pekerja yang diwawancarai kebanyakan berasal dari Indonesia, Malaysia, Bangladesh, India, Nepal, Filipina, Kamboja, dan Myanmar, serta Muslim Rohingya tanpa kewarganegaraan.
Reporter AP News dalam laporan itu, bahkan mengklaim telah menyaksikan beberapa dugaan pelanggaran secara langsung. Bahkan melakukan tinjauan laporan polisi dan pengaduan yang dibuat untuk serikat pekerja.
Media itu juga mengaku mendapatkan rekaman dan foto yang diselundupkan dari perkebunan, juga menggunakan cerita media lokal untuk menguatkan laporan tersebut. Malaysia dan Indonesia sendiri memproduksi sekitar 85% dari perkiraan pasokan minyak sawit senilai US$ 65 miliar di dunia.
Hal ini merupakan serangan baru ke kelapa sawit dan CPO dari Malaysia-RI. Sebelumnya diskriminasi juga dilancarkan Eropa dengan regulasi "Arahan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive II/RED II) Uni Eropa" beserta aturan teknisnya (delegated act).
Tanaman pangan yang dianggap berisiko tinggi pada lingkungan akan dibatasi penggunaannya dan dihapuskan secara bertahap dari pasar bahan bakar nabati Uni Eropa. Sayangnya, kelapa sawit ikut ditetapkan sebagai tanaman pangan berisiko tinggi terhadap ILUC.
*(ari)
AP News mengatakan telah mewawancarai lebih dari 130 karyawan serta mantan karyawan dari 24 perkebunan kelapa sawit di Malaysia dan Indonesia. Pekerja yang diwawancarai kebanyakan berasal dari Indonesia, Malaysia, Bangladesh, India, Nepal, Filipina, Kamboja, dan Myanmar, serta Muslim Rohingya tanpa kewarganegaraan.
Laporan tersebut menyebut perusahaan seperti Unilever, L'Oreal, Nestle, Procter & Gamble (P&G), Colgate-Palmolive, dan Ikea, serta beberapa nama bank raksasa, seperti Deutsche Bank, BNY Mellon, Citigroup, HSBC, dan Vanguard Group, dan Maybank, terlibat dalam masalah pelanggaran ini.
Laporan tersebut juga mengklaim bahwa jutaan pekerja dari beberapa wilayah termiskin di Asia, yang bekerja untuk memproduksi minyak sawit, mengalami berbagai bentuk eksploitasi. Dengan yang paling parah adalah adanya pekerja anak di bawah umur, perbudakan, dan tuduhan pemerkosaan.
AP News mengatakan telah mewawancarai lebih dari 130 karyawan serta mantan karyawan dari 24 perkebunan kelapa sawit di kedua negara. Pekerja yang diwawancarai kebanyakan berasal dari Indonesia, Malaysia, Bangladesh, India, Nepal, Filipina, Kamboja, dan Myanmar, serta Muslim Rohingya tanpa kewarganegaraan.
Reporter AP News dalam laporan itu, bahkan mengklaim telah menyaksikan beberapa dugaan pelanggaran secara langsung. Bahkan melakukan tinjauan laporan polisi dan pengaduan yang dibuat untuk serikat pekerja.
Media itu juga mengaku mendapatkan rekaman dan foto yang diselundupkan dari perkebunan, juga menggunakan cerita media lokal untuk menguatkan laporan tersebut. Malaysia dan Indonesia sendiri memproduksi sekitar 85% dari perkiraan pasokan minyak sawit senilai US$ 65 miliar di dunia.
Hal ini merupakan serangan baru ke kelapa sawit dan CPO dari Malaysia-RI. Sebelumnya diskriminasi juga dilancarkan Eropa dengan regulasi "Arahan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive II/RED II) Uni Eropa" beserta aturan teknisnya (delegated act).
Tanaman pangan yang dianggap berisiko tinggi pada lingkungan akan dibatasi penggunaannya dan dihapuskan secara bertahap dari pasar bahan bakar nabati Uni Eropa. Sayangnya, kelapa sawit ikut ditetapkan sebagai tanaman pangan berisiko tinggi terhadap ILUC.
*(ari)