Timika, Corong Demokrasi,- Penetapan empat oknum TNI sebagai tersangka kekerasan di Desa Asiki, Boven digoel, Papua disambut baik oleh Direktur Amnesty International Indonesia (10/09/2020).
Usman Hamid selaku Direktur Amnesty International Indonesia menanggapi penetapan empat oknum anggota TNI sebagai tersangka kasus kekerasan terhadap Oktovianus Warip Betera.
"Kami mengapresiasi penetapan tersangka terhadap empat anggota TNI yang diduga melakukan kekerasan terhadap Oktovianus Betera hingga meninggal dunia," ungkapnya
Hamid menjelaskan, proses hukum ini adalah langkah baik untuk meninggalkan jejak impunitas pembunuhan di luar hukum yang selama ini menimpa warga Papua.
Meski begitu, ia tetap mendesak agar proses peradilan terhadap oknum anggota Satgas Pamtas Yonif 516/ Caraka Yudha dapat berjalan dengan adil dan terbuka.
"Negara harus bertanggung jawab atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang terus berulang di Papua," katanya.
Ia juga berharap kepada aparat penegak hukum untuk melindungi seluruh saksi, termasuk saksi ahli, dan keluarga korban dalam proses peradilan. Semua pihak, baik penuntut dan pembela harus mendapatkan hak setara dalam ruang sidang.
Menurutnya, proses hukum harus dipastikan berjalan sesuai aturan yag berlaku dan tidak ada keberpihakan agar keadilan itu terlihat. Negara wajib mengakhiri impunitas atas kekerasan dan pembunuhan di Papua.
"Jika tidak, maka kejadian serupa akan terus berulang. Impunitas adalah ancaman serius bagi hak asasi manusia,"kata Hamid.
Menanggapi hal itu, Kepala Penerangan Kodam XVII Cenderawasih Letnan Kolonel (Arm) Reza Nur Patria mengatakan, hingga kini Pomdam Cenderawasih masih terus melakukan pendalaman kasus tersebut.
"Saat ini masih pendalaman dan investigasi oleh Pomdam, bila ada perkembangan lebih lanjut akan disampaikan, jelasnya ketika dikonfirmasi awak media.(10/08/2020)
Disinggung apakah telah dilakukan penahanan terhadap ke-empat tersangka, Letkol Reza mengatakan mereka masih dimintai keterangan lebih lanjut.
Ada pun Amnesty mencatat, pada tanggal 24 Juli 2020, warga Asiki, Boven Digoel, Oktovianus Warip Betera (18 tahun) diduga dikeroyok oleh empat anggota TNI karena dituduh mencuri.
Sumber Amnesty di Papua mengatakan, pihak TNI awalnya langsung memasukan jenazah Oktovianus ke dalam peti mati. Peti itu langsung dipaku sehingga menyulitkan keluarga korban untuk melihat jenazah korban.
Keluarga korban akhirnya bisa melihat jenazah setelah ada desakan dari pemuka agama setempat.
Amnesty International Indonesia kemudian menerima informasi bahwa Subden POM XVII/A Merauke telah menetapkan empat anggota satgas Yonif 516/Caraka Yudha sebagai tersangka.
Keempat anggota satgas tersebut adalah Serda DPJ, Serda NR, Pratu YKM dan Prada DD. Mereka dijerat Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan Jo. Pasal 359 KUHP terkait kealpaan yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia.
"Ketika ada bukti-bukti relevan yang memadai maka tindak pelanggaran HAM harus diadili dalam pengadilan pidana yang memenuhi standar peradilan adil dan tidak menerapkan hukuman mati," sebut Amnesty.
Usman Hamid menambahkan, hak atas peradilan yang adil dan terbuka telah dilindungi dalam hukum HAM internasional maupun hukum nasional.
Dalam hukum internasional, hak atas peradilan adil dan terbuka dijamin pada Pasal 14 dan 15 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Pasal tersebut menjelaskan bahwa tuntutan terhadap seorang pelaku kejahatan berhak atas persidangan adil dan terbuka oleh pengadilan kompeten, independen, dan tidak memihak.
Sementara dalam kerangka hukum nasional, hak atas peradilan adil dan terbuka diatur pada Pasal 28D UUD 1945 dan Pasal 17 UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusi
"Hak tersebut wajib diperoleh oleh kedua belah pihak demi menjamin keadilan dalam penuntutan para pelaku dan pemenuhan hak atas keadilan bagi keluarga korban," pungkasnya.
"Kami mengapresiasi penetapan tersangka terhadap empat anggota TNI yang diduga melakukan kekerasan terhadap Oktovianus Betera hingga meninggal dunia," ungkapnya
Hamid menjelaskan, proses hukum ini adalah langkah baik untuk meninggalkan jejak impunitas pembunuhan di luar hukum yang selama ini menimpa warga Papua.
Meski begitu, ia tetap mendesak agar proses peradilan terhadap oknum anggota Satgas Pamtas Yonif 516/ Caraka Yudha dapat berjalan dengan adil dan terbuka.
"Negara harus bertanggung jawab atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang terus berulang di Papua," katanya.
Ia juga berharap kepada aparat penegak hukum untuk melindungi seluruh saksi, termasuk saksi ahli, dan keluarga korban dalam proses peradilan. Semua pihak, baik penuntut dan pembela harus mendapatkan hak setara dalam ruang sidang.
Menurutnya, proses hukum harus dipastikan berjalan sesuai aturan yag berlaku dan tidak ada keberpihakan agar keadilan itu terlihat. Negara wajib mengakhiri impunitas atas kekerasan dan pembunuhan di Papua.
"Jika tidak, maka kejadian serupa akan terus berulang. Impunitas adalah ancaman serius bagi hak asasi manusia,"kata Hamid.
Menanggapi hal itu, Kepala Penerangan Kodam XVII Cenderawasih Letnan Kolonel (Arm) Reza Nur Patria mengatakan, hingga kini Pomdam Cenderawasih masih terus melakukan pendalaman kasus tersebut.
"Saat ini masih pendalaman dan investigasi oleh Pomdam, bila ada perkembangan lebih lanjut akan disampaikan, jelasnya ketika dikonfirmasi awak media.(10/08/2020)
Disinggung apakah telah dilakukan penahanan terhadap ke-empat tersangka, Letkol Reza mengatakan mereka masih dimintai keterangan lebih lanjut.
Ada pun Amnesty mencatat, pada tanggal 24 Juli 2020, warga Asiki, Boven Digoel, Oktovianus Warip Betera (18 tahun) diduga dikeroyok oleh empat anggota TNI karena dituduh mencuri.
Sumber Amnesty di Papua mengatakan, pihak TNI awalnya langsung memasukan jenazah Oktovianus ke dalam peti mati. Peti itu langsung dipaku sehingga menyulitkan keluarga korban untuk melihat jenazah korban.
Keluarga korban akhirnya bisa melihat jenazah setelah ada desakan dari pemuka agama setempat.
Amnesty International Indonesia kemudian menerima informasi bahwa Subden POM XVII/A Merauke telah menetapkan empat anggota satgas Yonif 516/Caraka Yudha sebagai tersangka.
Keempat anggota satgas tersebut adalah Serda DPJ, Serda NR, Pratu YKM dan Prada DD. Mereka dijerat Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan Jo. Pasal 359 KUHP terkait kealpaan yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia.
"Ketika ada bukti-bukti relevan yang memadai maka tindak pelanggaran HAM harus diadili dalam pengadilan pidana yang memenuhi standar peradilan adil dan tidak menerapkan hukuman mati," sebut Amnesty.
Usman Hamid menambahkan, hak atas peradilan yang adil dan terbuka telah dilindungi dalam hukum HAM internasional maupun hukum nasional.
Dalam hukum internasional, hak atas peradilan adil dan terbuka dijamin pada Pasal 14 dan 15 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Pasal tersebut menjelaskan bahwa tuntutan terhadap seorang pelaku kejahatan berhak atas persidangan adil dan terbuka oleh pengadilan kompeten, independen, dan tidak memihak.
Sementara dalam kerangka hukum nasional, hak atas peradilan adil dan terbuka diatur pada Pasal 28D UUD 1945 dan Pasal 17 UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusi
"Hak tersebut wajib diperoleh oleh kedua belah pihak demi menjamin keadilan dalam penuntutan para pelaku dan pemenuhan hak atas keadilan bagi keluarga korban," pungkasnya.
*(val)