Kinerja maskapai nasional ini benar-benar "hampir bangkrut" seiring dengan anjloknya permintaan karena pandemi virus corona yang juga dirasakan maskapai global.
Pembatasan ketat perjalanan ke Australia dan larangan bagi warga untuk keluar karena pandemi menyebabkan angka kerugian sebelum pajak (laporan keuangan menurut undang-undang) sebesar AUS$ 2,7 miliar atau setara dengan US $ 1,9 miliar.
Kerugian itu termasuk biaya untuk menghentikan penggunaan Airbus A380 dan pembayaran redundansi yang besar. Perlu diketahui bahwa biaya redundansi mengukur biaya pesangon saat memberhentikan karyawan dalam satuan minggu.
Dikutip dari AFP, pendapatan Qantas turun 82% antara April dan Juni 2020, atau kuartal II-2020.
Menghadapi "periode paling menantang" dalam 99 tahun lebih sejarahnya sejak berdiri pada 1920, manajemen Qantas menegaskan akan melanjutkan strategi pengurangan 6.000 staf dan telah menghentikan 100 pesawat selama satu tahun dalam upaya memangkas biaya sebesar US$ 10 miliar atau Rp 148 triliun.
Maskapai tersebut melaporkan bahwa dampak pandemi Covid-19 berimbas pada penurunan total penumpang pada paruh pertama tahun ini.
"Kami berada di jalur untuk mendapatkan keuntungan lain di atas AUS $ 1 miliar (US$ 718 juta atau Rp 11 triliun) ketika krisis ini melanda," kata CEO Alan Joyce, dikutip AFP.
Industri penerbangan global masih menghadapi krisis terbesarnya hingga saat ini, dengan banyak maskapai besar mencari miliaran dolar untuk keluar dari zona kebangkrutan, sementara maskapai lain yang lain terpaksa gulung tikar.
Di Australia, sektor ini telah menerima ratusan juta dolar dana pembayar pajak saat pemerintah berusaha menyelamatkan industri penerbangan dari kehancuran.
Joyce mengatakan pemulihan industri penerbangan nasional akan "memakan waktu dan bakal berombak", tak semudah yang dibayangkan.
"Covid-19 membentuk kembali lanskap kompetitif dan itu menghadirkan berbagai tantangan dan peluang bagi kami," katanya.
Manajemen Qantas mengatakan bahwa strategi cepat perseroan secara radikal memotong biaya dan menghentikan sementara sebagian besar bisnis penerbangan membantu meminimalkan dampak finansial dari pandemi.
Namun kabar baiknya, terlepas dari ketidakpastian yang sedang berlangsung, maskapai ini masih yakin badai akan berlalu dan perseroan bisa kembali mengambil keuntungan di tengah upaya pemerintah yang mulai melonggarkan kembali perjalanan udara, termasuk di negara lainnya.
Maskapai yang menjadi pesaing utamanya, Virgin Australia, sudah lebih dahulu terkena imbas dan masuk ke administrasi sukarela pemerintah Australia pada April tak lama setelah pemerintah menutup perbatasan internasionalnya dan membatasi perjalanan sehingga jumlah penumpang domestik anjlok.
Virgin mengumumkan pada awal bulan ini bahwa mereka akan menutup anak perusahaan, Tigerair Australia, dan memberhentikan 3.000 staf karena bersiap untuk kembali meluncur di bawah pemegang saham barunya, raksasa investor saham dari AS, Bain Capital.
Joyce mengatakan pandemi ini akan terus berdampak besar pada kinerja Qantas ke depan, bahkan berpotensi menderita kerugian signifikan tahun ini.
Australia, yang mencatat lebih dari 24.000 kasus virus corona dan 463 kematian hingga saat ini, jumlah ini membuat warganya sendiri terbatas untuk dapat pulang dari luar negeri guna membendung penyebaran virus.
Pejabat pemerintah mengatakan negara pulau itu tidak akan dibuka kembali untuk pelancong luar negeri sampai vaksin untuk Covid-19 ditemukan.
Qantas adalah maskapai penerbangan nasional Australia yang tercatat di bursa Australia (ASX) dengan kode saham QAN. Sahamnya tercatat minus 0,8% di level AUS$ 3,73/saham pada perdagangan 20 Agustus.
*(red)