JAKARTA,- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyesalkan keputusan DPR mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. Terlebih lagi, LPSK merupakan lembaga yang terlibat dalam tim kecil pemerintah membahas RUU PKS.
Menurut Wakil Ketua LPSK Livia Istania DF Iskandar, RUU PKS itu sejalan dengan kecenderungan meningkatnya grafik permohonan perlindungan dari para korban kekerasan seksual ke lembaganya.
Dia menjelaskan LPSK pada 2016 menerima 66 permohonan perlindungan dari korban kasus kekerasan seksual. Jumlah itu naik menjadi 111 pada 2017, dan melonjak drastis pada 2018 menjadi 284 permohonan. Pada 2019, permohonan perlindungan naik lagi menjadi 373.
Livia menambahkan untuk terlindung LPSK per 15 Juni 2020 mencapai 501. Menurutnya, angka permohonan perlindungan maupun terlindung LPSK, belum bisa menggambarkan jumlah korban kekerasan seksual sesungguhnya. Sebab, dia meyakini angka riilnya bisa lebih besar, mengingat tidak semua korban mau melanjutkan perkara ke ranah pidana.
“Jumlah terlindung LPSK belum menggambarkan jumlah korban kekerasan seksual sesungguhnya. Karena Pasal 28 UU Perlindungan Saksi dan Korban, mensyaratkan, permohonan perlindungan bisa diberikan, salah satunya karena adanya tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban,” kata Livia.(4/7/2020).
Livia menjelaskan ada sejumlah faktor yang membuat RUU PKS sangat penting untuk dibahas. Salah satunya ialah kehadiran RUU PKS ini diharapkan mampu membantu dan mempermudah penegak hukum untuk menjerat pelaku kekerasan seksual. “Perlu aturan lebih khusus untuk mengatur kekerasan seksual karena jenis dan modusnya makin beragam,” ujar Livia.
Pada kekerasan seksual, lanjut Livia, banyak kasus yang proses hukumnya tidak dapat dilanjutkan karena kurangnya alat bukti dan rumusan norma pasal. Khusunya di KUHP yang tidak mampu menjangkau bentuk-bentuk kekerasan seksual yang berkembang saat ini.
Hal tersebut berimplikasi pada cara pandang penegak hukum dalam melakukan proses penegakan hukum.*(red)
Menurut Wakil Ketua LPSK Livia Istania DF Iskandar, RUU PKS itu sejalan dengan kecenderungan meningkatnya grafik permohonan perlindungan dari para korban kekerasan seksual ke lembaganya.
Dia menjelaskan LPSK pada 2016 menerima 66 permohonan perlindungan dari korban kasus kekerasan seksual. Jumlah itu naik menjadi 111 pada 2017, dan melonjak drastis pada 2018 menjadi 284 permohonan. Pada 2019, permohonan perlindungan naik lagi menjadi 373.
Livia menambahkan untuk terlindung LPSK per 15 Juni 2020 mencapai 501. Menurutnya, angka permohonan perlindungan maupun terlindung LPSK, belum bisa menggambarkan jumlah korban kekerasan seksual sesungguhnya. Sebab, dia meyakini angka riilnya bisa lebih besar, mengingat tidak semua korban mau melanjutkan perkara ke ranah pidana.
“Jumlah terlindung LPSK belum menggambarkan jumlah korban kekerasan seksual sesungguhnya. Karena Pasal 28 UU Perlindungan Saksi dan Korban, mensyaratkan, permohonan perlindungan bisa diberikan, salah satunya karena adanya tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban,” kata Livia.(4/7/2020).
Livia menjelaskan ada sejumlah faktor yang membuat RUU PKS sangat penting untuk dibahas. Salah satunya ialah kehadiran RUU PKS ini diharapkan mampu membantu dan mempermudah penegak hukum untuk menjerat pelaku kekerasan seksual. “Perlu aturan lebih khusus untuk mengatur kekerasan seksual karena jenis dan modusnya makin beragam,” ujar Livia.
Pada kekerasan seksual, lanjut Livia, banyak kasus yang proses hukumnya tidak dapat dilanjutkan karena kurangnya alat bukti dan rumusan norma pasal. Khusunya di KUHP yang tidak mampu menjangkau bentuk-bentuk kekerasan seksual yang berkembang saat ini.
Hal tersebut berimplikasi pada cara pandang penegak hukum dalam melakukan proses penegakan hukum.*(red)