Mimika, Corong Demokrasi,- Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono menegaskan, lembaga utusan daerah itu memperjuangkan Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang berakhir pada November 2021 diperpanjang lagi 20 tahun ke depan.
Pernyataan itu disampaikan Nono dalam kunjungan bersama Menko Polhukam Prof. Mahfud MD dan Mendagri Tito Karnavian ketika berdialog dengan tokoh masyarakat di Timika, (22/7/2020).
Otsus kami DPD pasang badan. Otsus tetap berjalan untuk Papua. DPD RI pertaruhkan, karena kita tahu Papua membutuhkan sangat banyak biaya untuk membangun,” katanya.
Nono mengatakan, memang tidak dipungkiri bahwa banyak aspirasi dan dinamika di masyarakat yang menilai Otsus belum sepenuhnya menjawab segala persoalan di Papua.
Kita bicara keras boleh, sepanjang itu tidak merugikan banyak pihak,” kata dia.
Menurut dia, banyak daerah lain yang sebenarnya masih tertinggal dan membutuhkan banyak anggaran untuk pembangunan. Karenanya, Papua sangat beruntung bisa mendapat keistimewaan ini.
Saya sebagai orang Maluku, ingin juga sebenarnya. Coba bayangkan, Provinsi Maluku anggarannya tidak lebih besar dari anggaran satu kabupaten di Jawa, seperti Malang,” katanya.
Anggota Komite II DPD RI Yorrys Raweyai melanjutkan, pada prinsipnya Papua masih sangat membutuhkan Otsus dalam rangka percepatan pembangunan, baik fisik maupun sumber daya manusia (SDM).
Ia menggambarkan, Belanda menjajah Papua lebih dari 350 tahun. Lebih lama Belanda menjajah Papua dari pada Belanda menjajah Indonesia.
“Selama penjajahan itu, hanya satu orang Papua yang dikirim sekolah ke Belanda, almarhum Frits Kedegeo. Hanya satu aja,” katanya.
Dibandingkan setelah integrasi 1961, sebut Yorrys, pemerintah Indonesia secara massif membangun SDM Papua. Pada 1962, Presiden Soekarno membangun Universitas Cenderawasih untuk visi pembangunan SDM jangka panjang.
“Hasil daripada Uncen itu lah yang ada sekarang ini. Hampir semua pejabat yang hadir di sini, mulai dari Pangdam XVII Cenderawasih sampai Bupati Mimika lulus dari situ,” kata dia.
Kendati begitu, Senator asal Papua ini mengakui masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki dalam penyelenggaraan Otsus di Papua sehingga pembangunan yang berkeadilan benar-benar terwujud.
“Kalau kita bicara pembangunan SDM, kita mestinya bersyukur. Bahwa ada kekurangan, ya. Tapi mari kita perbaiki ke depan menuju masa depan yang lebih baik,” imbuhnya.
Mendagri Tito Karnavian mengatakan, memang ada keinginan besar pemerintah di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo untuk memperpanjang Otsus Papua 20 tahun lagi.
“Karena seandainya UU Otsus tidak ada, dana Otsus berarti selesai juga. Kekhususan Papua jadi hilang nantinya,” kata mantan Kapolri, yang pernah menjabat Kapolda Papua 2012-2014
Sementara Papua Barat anggarannya sekitar Rp9,3 triliun, dimana Rp5 triliun di antaranya bersumber dari dana Otsus.
Dalam beberapa periode gubernur, terjadi alokasi dana Otsus dengan komposisi berbeda-beda. Pertama 60 persen untuk provinsi dan 40 kabupaten/kota. Sekarang 20 persen provinsi dan 80 persen kabupaten.
Tito mengatakan, Presiden Jokowi sejak awal konsisten dan betul-betul memberi perhatian serius ke Papua. Bahkan dalam setahun, Jokowi melakukan kunjungan sebanyak tiga kali ke Papua.
“Kita melihat sendiri, banyak hal yang sudah dikerjakan oleh beliau di Papua. Dari segi pembangunan, saya kira sudah banyak sekali kemajuan,” katanya.
Menko Polhukam Prof. Mahfud MD mengatakan, Papua selalu diberi keistimewaan perlakuan yang dikenal dengan affirmative policy atau kebijakan berbuat tidak adil agar segera terjadi keadilan.
“Pemerintah Indonesia berbuat tidak adil untuk daerah lain, agar Papua segera mendapatkan keadilan,” kata dia.
Salah satu keistimewaan yang diatur dalam UU Otsus, kata Mahfud, adalah kebijakan politik untuk kepala daerah dan legislatif di tingkat provinsi hingga ke daerah.
Kalau bukan orang Papua jangan bermimpi jadi gubernur Papua. Tapi orang Papua boleh menjadi gubernur di Jawa atau daerah lain. Itu namanya afirmasi,” kata mantan Ketua Mahkama Konstitusi itu.
Lebih lanjut Mahfud, di dalam konstitusi memang dikenal affirmative policy, dimana ketidakadilan bisa dilakukan demi membangun keadilan.
“Di Papua, anggota DPRD beda dengan daerah lain. Di sini anggota DPRD 25 persen harus orang asli Papua, meski pun kalah tapi dimasukkan sampai minimal 25 persen menduduki kursi,” katanya.
Pernyataan itu disampaikan Nono dalam kunjungan bersama Menko Polhukam Prof. Mahfud MD dan Mendagri Tito Karnavian ketika berdialog dengan tokoh masyarakat di Timika, (22/7/2020).
Otsus kami DPD pasang badan. Otsus tetap berjalan untuk Papua. DPD RI pertaruhkan, karena kita tahu Papua membutuhkan sangat banyak biaya untuk membangun,” katanya.
Nono mengatakan, memang tidak dipungkiri bahwa banyak aspirasi dan dinamika di masyarakat yang menilai Otsus belum sepenuhnya menjawab segala persoalan di Papua.
Kita bicara keras boleh, sepanjang itu tidak merugikan banyak pihak,” kata dia.
Menurut dia, banyak daerah lain yang sebenarnya masih tertinggal dan membutuhkan banyak anggaran untuk pembangunan. Karenanya, Papua sangat beruntung bisa mendapat keistimewaan ini.
Saya sebagai orang Maluku, ingin juga sebenarnya. Coba bayangkan, Provinsi Maluku anggarannya tidak lebih besar dari anggaran satu kabupaten di Jawa, seperti Malang,” katanya.
Anggota Komite II DPD RI Yorrys Raweyai melanjutkan, pada prinsipnya Papua masih sangat membutuhkan Otsus dalam rangka percepatan pembangunan, baik fisik maupun sumber daya manusia (SDM).
Ia menggambarkan, Belanda menjajah Papua lebih dari 350 tahun. Lebih lama Belanda menjajah Papua dari pada Belanda menjajah Indonesia.
“Selama penjajahan itu, hanya satu orang Papua yang dikirim sekolah ke Belanda, almarhum Frits Kedegeo. Hanya satu aja,” katanya.
Dibandingkan setelah integrasi 1961, sebut Yorrys, pemerintah Indonesia secara massif membangun SDM Papua. Pada 1962, Presiden Soekarno membangun Universitas Cenderawasih untuk visi pembangunan SDM jangka panjang.
“Hasil daripada Uncen itu lah yang ada sekarang ini. Hampir semua pejabat yang hadir di sini, mulai dari Pangdam XVII Cenderawasih sampai Bupati Mimika lulus dari situ,” kata dia.
Kendati begitu, Senator asal Papua ini mengakui masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki dalam penyelenggaraan Otsus di Papua sehingga pembangunan yang berkeadilan benar-benar terwujud.
“Kalau kita bicara pembangunan SDM, kita mestinya bersyukur. Bahwa ada kekurangan, ya. Tapi mari kita perbaiki ke depan menuju masa depan yang lebih baik,” imbuhnya.
Mendagri Tito Karnavian mengatakan, memang ada keinginan besar pemerintah di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo untuk memperpanjang Otsus Papua 20 tahun lagi.
“Karena seandainya UU Otsus tidak ada, dana Otsus berarti selesai juga. Kekhususan Papua jadi hilang nantinya,” kata mantan Kapolri, yang pernah menjabat Kapolda Papua 2012-2014
Sementara Papua Barat anggarannya sekitar Rp9,3 triliun, dimana Rp5 triliun di antaranya bersumber dari dana Otsus.
Dalam beberapa periode gubernur, terjadi alokasi dana Otsus dengan komposisi berbeda-beda. Pertama 60 persen untuk provinsi dan 40 kabupaten/kota. Sekarang 20 persen provinsi dan 80 persen kabupaten.
Tito mengatakan, Presiden Jokowi sejak awal konsisten dan betul-betul memberi perhatian serius ke Papua. Bahkan dalam setahun, Jokowi melakukan kunjungan sebanyak tiga kali ke Papua.
“Kita melihat sendiri, banyak hal yang sudah dikerjakan oleh beliau di Papua. Dari segi pembangunan, saya kira sudah banyak sekali kemajuan,” katanya.
Menko Polhukam Prof. Mahfud MD mengatakan, Papua selalu diberi keistimewaan perlakuan yang dikenal dengan affirmative policy atau kebijakan berbuat tidak adil agar segera terjadi keadilan.
“Pemerintah Indonesia berbuat tidak adil untuk daerah lain, agar Papua segera mendapatkan keadilan,” kata dia.
Salah satu keistimewaan yang diatur dalam UU Otsus, kata Mahfud, adalah kebijakan politik untuk kepala daerah dan legislatif di tingkat provinsi hingga ke daerah.
Kalau bukan orang Papua jangan bermimpi jadi gubernur Papua. Tapi orang Papua boleh menjadi gubernur di Jawa atau daerah lain. Itu namanya afirmasi,” kata mantan Ketua Mahkama Konstitusi itu.
Lebih lanjut Mahfud, di dalam konstitusi memang dikenal affirmative policy, dimana ketidakadilan bisa dilakukan demi membangun keadilan.
“Di Papua, anggota DPRD beda dengan daerah lain. Di sini anggota DPRD 25 persen harus orang asli Papua, meski pun kalah tapi dimasukkan sampai minimal 25 persen menduduki kursi,” katanya.