Tidak kurang dari 170 petani dari berbagai usia menggelar aksi jalan kaki dari Medan menuju Ibukota Negara, Jakarta.
Para petani yang berjalan kaki itu adalah korban konflik agraria dengan PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II) Tanjung Morawa, Sumatera Utara.
Para petani yang tergabung dalam Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) dan Serikat Tani Mencirim Bersatu (STMB) melakukan aksi jalan kaki dari Medan, Sumatera Utara menuju Istana Negara di Jakarta untuk mencari keadilan.
Para petani itu memulai aksi jalan kaki pada 25 Juni 2020. Mereka bergerak dari Simalingkar, Kecamatan Pancur, Kabupaten Deli Serdang.
Bukan hanya petani yang masih muda dan segar bugar yang menjadi korban konflik agrarian dengan PTPN II ini. Para lansia dan usia senja seperti Nenek Sura Beru Sembiring berusia 63 tahun dan Kakek Wagiran Atmadja berusia 76 tahun pun ikut memperjuangkan mencari keadilan dengan berjalan kaki ke Jakarta.
Mereka ikut aksi jalan kaki yang dimulai dari Dusun Bekala, Desa Simalingkar A dan Desa Sei Mencirim, Kabupaten Deli Serdang, ke Jakarta.
Pada Jumat malam (03/07/2020), para petani tiba di Rantau Prapat, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara.
Kehadiran para petani yang tertindas ini disambut Lembaga Bantuan Hukum Agraria Labuhanbatu (LBH Agraria Labuhanbatu) bersama para aktivis organisasi mahasiswa dan masyarakat sekitar, di Gelanggang Olahraga Rantau Prapat (GOR Rantau Prapat), dan bermalam di tempat itu.
Koordinator Aksi Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) dan Serikat Tani Mencirim Bersatu (STMB), Sulaeman Wardana menyampaikan, para petani tidak memperoleh keadilan dan haknya di Sumatera Utara. Bahkan, pihak PTPN II tidak menggubris tuntutan para petani.
“Kami para petani korban konflik agraria dengan PTPN II Tanjung Morawa, berjalan kaki ke Jakarta, menelusuri jalan-jalan Lintas Sumatera, untuk menyampaikan langsung persoalan kami kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta,” tutur Sulaeman Wardana.
Setelah menempuh jarak 260 kilometer mereka tiba di Rantau Prapat dengan berjalan kaki. Dari 170 orang petani. dua diantaranya lansia, yakni, Sura Br Sembiring (63) dan Wagiran Atmadja (76), mengaku rela berjalan kaki ke Jakarta untuk mengadukan nasibnya kepada Jokowi. Kedua kakek dan nenek ini yakin, perjuangan mereka ini akan membuahkan hasil yang diharapkan para petani.
“Sejak orang tua saya masih hidup pada zaman Belanda, saya termasuk pelaku sejarah. Kami sudah mengadukan permasalahan ini ke Menteri, DPR RI, kalau soal ke Gubernur Sumut, jangan ditanyakan lagi sudah berkali-kali kami sampaikan. Makanya kami nekad jalan kaki hingga ke Istana Negara,” tutur Kakek Wagiran Admadja yang diamini Nenek Sura Br Sembiring, saat bermalam di GOR Rantau Prapat.
Nenek Sura Beru Sembiring yakin, jika sudah tiba di Jakarta dan menyampaikan persoalannya ke Presiden Joko Widodo, para petani akan mendapatkan haknya.
“Kami perkirakan Bulan Agustus mendatang. Karena kami yakin perjuangan kami akan membuahkan hasil,” ujar Nenek Sura Beru Sembiring.
Koordinator Aksi Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) dan Serikat Tani Mencirim Bersatu (STMB), Sulaeman Wardana menjelaskan, tuntutan para petani akan disampaikan langsung ke Presiden Joko Widodo di Jakarta.
“Jokowi harus menyelesaikan masalah ini. Jangan aada lagi kriminalisasi terhadap petani. Sebab, dari kami ada yang ditahan di Poltabes Medan dengan tuduhan pengrusakan pagar Kantor PTPN II padahal tidak terlibat, yakni, Ardi Surbakti selaku Sekretaris SPSB,” ungkap Sulaeman Wardana.
Selain itu, lanjut Sulaeman, ada dua orang dari mereka yang sudah divonis 7 bulan di PN Pancur Batu, yakni, Japet Purba dan Beni Karo-karo. “Kalau yang dua ini kami akui mereka dinyatakan bersalah dalam pengrusakan,” ujarnya.
Sulaeman mengatakan, konflik petani dengan PTPTN II Tanjung Morawa ini sudah terjadi sejak tahun 1951. “Dan lahan itu telah dikuasai masyarakat turun temurun, namun dirampas oleh PTPN II Tanjung Morawa,” ujar Sulaeman Wardana.
Penanggungjawab Aksi, yang juga Dewan Pembina SPSB dan STMB, Aris Wiyono menambahkan, aksi jalan kaki ini dilakukan karena areal lahan dan tempat tinggal yang telah mereka kelola dan tempati sejak tahun 1951 telah digusur paksa oleh korporasi plat merah bernama PTPN II.
“Padahal kami telah mengantongi SK Landreform sejak tahun 1984. Dan parahnya, sebanyak 36 petani di Sei Mencirim yang ikut tergusur sudah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM),” ujar Aris Wiyono.
Luas area yang menjadi penyebab konflik antara petani yang tergabung dalam SPSB dengan PTPN 2 adalah ± 854 hektar. Dan luas area yang berkonflik antara petani yang tergabung dalam STMB dengan PTPN 2 adalah seluas ± 850 hektar. Dan, tuntutan petani STMB adalah seluas ± 323,5 Hektar.
Sementara itu, Pengurus LBH Agraria Labuhanbatu, Yanto Ziliwu menyampaikan, LBH Agraria Labuhanbatu dan masyarakat mendukung para petani untuk memperoleh keadilannya.
Yanti Ziliwu yang menyambut kedatangan ratusan petani dan turut berjalan kaki mulai dari perbatasan Labuhanbatu Utara, dan Labuhanbatu, tepatnya dari Kantor Camat Bilah Barat menuju GOR Rantau Prapat akan terus mendukung aksi para petani itu.
“Mereka menginap di GOR. Konsumsi juga sudah kita sediakan dari LBH Agraria Labuhanbatu. Ini murni bentuk dukungan kita terhadap perjuangan para petani. Tidak ada unsur politik di sini,” ujar Yanto Ziliwu.*(red)
Para petani yang tergabung dalam Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) dan Serikat Tani Mencirim Bersatu (STMB) melakukan aksi jalan kaki dari Medan, Sumatera Utara menuju Istana Negara di Jakarta untuk mencari keadilan.
Para petani itu memulai aksi jalan kaki pada 25 Juni 2020. Mereka bergerak dari Simalingkar, Kecamatan Pancur, Kabupaten Deli Serdang.
Bukan hanya petani yang masih muda dan segar bugar yang menjadi korban konflik agrarian dengan PTPN II ini. Para lansia dan usia senja seperti Nenek Sura Beru Sembiring berusia 63 tahun dan Kakek Wagiran Atmadja berusia 76 tahun pun ikut memperjuangkan mencari keadilan dengan berjalan kaki ke Jakarta.
Mereka ikut aksi jalan kaki yang dimulai dari Dusun Bekala, Desa Simalingkar A dan Desa Sei Mencirim, Kabupaten Deli Serdang, ke Jakarta.
Pada Jumat malam (03/07/2020), para petani tiba di Rantau Prapat, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara.
Kehadiran para petani yang tertindas ini disambut Lembaga Bantuan Hukum Agraria Labuhanbatu (LBH Agraria Labuhanbatu) bersama para aktivis organisasi mahasiswa dan masyarakat sekitar, di Gelanggang Olahraga Rantau Prapat (GOR Rantau Prapat), dan bermalam di tempat itu.
Koordinator Aksi Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) dan Serikat Tani Mencirim Bersatu (STMB), Sulaeman Wardana menyampaikan, para petani tidak memperoleh keadilan dan haknya di Sumatera Utara. Bahkan, pihak PTPN II tidak menggubris tuntutan para petani.
“Kami para petani korban konflik agraria dengan PTPN II Tanjung Morawa, berjalan kaki ke Jakarta, menelusuri jalan-jalan Lintas Sumatera, untuk menyampaikan langsung persoalan kami kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta,” tutur Sulaeman Wardana.
Setelah menempuh jarak 260 kilometer mereka tiba di Rantau Prapat dengan berjalan kaki. Dari 170 orang petani. dua diantaranya lansia, yakni, Sura Br Sembiring (63) dan Wagiran Atmadja (76), mengaku rela berjalan kaki ke Jakarta untuk mengadukan nasibnya kepada Jokowi. Kedua kakek dan nenek ini yakin, perjuangan mereka ini akan membuahkan hasil yang diharapkan para petani.
“Sejak orang tua saya masih hidup pada zaman Belanda, saya termasuk pelaku sejarah. Kami sudah mengadukan permasalahan ini ke Menteri, DPR RI, kalau soal ke Gubernur Sumut, jangan ditanyakan lagi sudah berkali-kali kami sampaikan. Makanya kami nekad jalan kaki hingga ke Istana Negara,” tutur Kakek Wagiran Admadja yang diamini Nenek Sura Br Sembiring, saat bermalam di GOR Rantau Prapat.
Nenek Sura Beru Sembiring yakin, jika sudah tiba di Jakarta dan menyampaikan persoalannya ke Presiden Joko Widodo, para petani akan mendapatkan haknya.
“Kami perkirakan Bulan Agustus mendatang. Karena kami yakin perjuangan kami akan membuahkan hasil,” ujar Nenek Sura Beru Sembiring.
Koordinator Aksi Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) dan Serikat Tani Mencirim Bersatu (STMB), Sulaeman Wardana menjelaskan, tuntutan para petani akan disampaikan langsung ke Presiden Joko Widodo di Jakarta.
“Jokowi harus menyelesaikan masalah ini. Jangan aada lagi kriminalisasi terhadap petani. Sebab, dari kami ada yang ditahan di Poltabes Medan dengan tuduhan pengrusakan pagar Kantor PTPN II padahal tidak terlibat, yakni, Ardi Surbakti selaku Sekretaris SPSB,” ungkap Sulaeman Wardana.
Selain itu, lanjut Sulaeman, ada dua orang dari mereka yang sudah divonis 7 bulan di PN Pancur Batu, yakni, Japet Purba dan Beni Karo-karo. “Kalau yang dua ini kami akui mereka dinyatakan bersalah dalam pengrusakan,” ujarnya.
Sulaeman mengatakan, konflik petani dengan PTPTN II Tanjung Morawa ini sudah terjadi sejak tahun 1951. “Dan lahan itu telah dikuasai masyarakat turun temurun, namun dirampas oleh PTPN II Tanjung Morawa,” ujar Sulaeman Wardana.
Penanggungjawab Aksi, yang juga Dewan Pembina SPSB dan STMB, Aris Wiyono menambahkan, aksi jalan kaki ini dilakukan karena areal lahan dan tempat tinggal yang telah mereka kelola dan tempati sejak tahun 1951 telah digusur paksa oleh korporasi plat merah bernama PTPN II.
“Padahal kami telah mengantongi SK Landreform sejak tahun 1984. Dan parahnya, sebanyak 36 petani di Sei Mencirim yang ikut tergusur sudah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM),” ujar Aris Wiyono.
Luas area yang menjadi penyebab konflik antara petani yang tergabung dalam SPSB dengan PTPN 2 adalah ± 854 hektar. Dan luas area yang berkonflik antara petani yang tergabung dalam STMB dengan PTPN 2 adalah seluas ± 850 hektar. Dan, tuntutan petani STMB adalah seluas ± 323,5 Hektar.
Sementara itu, Pengurus LBH Agraria Labuhanbatu, Yanto Ziliwu menyampaikan, LBH Agraria Labuhanbatu dan masyarakat mendukung para petani untuk memperoleh keadilannya.
Yanti Ziliwu yang menyambut kedatangan ratusan petani dan turut berjalan kaki mulai dari perbatasan Labuhanbatu Utara, dan Labuhanbatu, tepatnya dari Kantor Camat Bilah Barat menuju GOR Rantau Prapat akan terus mendukung aksi para petani itu.
“Mereka menginap di GOR. Konsumsi juga sudah kita sediakan dari LBH Agraria Labuhanbatu. Ini murni bentuk dukungan kita terhadap perjuangan para petani. Tidak ada unsur politik di sini,” ujar Yanto Ziliwu.*(red)