Andi Cibu Mattingara, SH
Kepala Divisi Kampanye dan Perluasan Jaringan
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Sulawesi Selatan.
Omnibus Law adalah regulasi atau undang-undang yang mencakup isu atau topik dalam suatu penciptaan hukum. Secara Harfiah, definisi omnibus law adalah hukum yang dibuat untuk semua peraturan, yang dimana terdapat tumpang tindih norma antara satu dengan yang lainnya.
Bisa disimpulkan bahwa Omnibus Law adalah UU baru yang memuat beragam substansi aturan yang keberadaannya merevisi atau mengubah beberapa UU sekaligus.
Oktober 2019 silam, Presiden Jokowi menyebutkan bahwa Omnibus Law akan menyederhanakan kendala regulasi yang kerap berbelit-belit dan panjang, sehingga alasan pemerintah membuat Omnibus Law lantaran sudah terlalu banyak regulasi dengan regulasi lainnya saling tumpang tindih dan menghambat akses pelayanan publik serta kemudahan berusaha.
Secara konsep Omnibus Law mumpuni terhadap tumpang tindihnya regulasi, tetapi secara perencanaan Negara terhadap konsep Omnibus Law di Indonesia perlu diperhatiakn dan diperjelas muaranya. Sebab aspek yang ingin diubah berkaitan dengan kepentingan korporat yang dapat menggerogoti kepentingan hidup orang banyak.
Juga konsep Omnibus Law tidak sesuai sistem hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Pasalnya, didalam UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diperbaharui menjadi UU Nomor 15 tahun 2019 yang tidak mengatur mekanisme tentang Omnibus Law, mestinya pemerintah dapat membertimbangkan dan memperjelas arah beberapa UU yang akan direvisi melalui konsep Omnibus Law ini.
Ini bagian dari pada cita-cita masyarakat, agar diselesaikannya beberapa peraturan yang saling berbenturan. Namun fatalnya, jika bagian dari cita-cita tersebut justru disuguhi oleh kepentingan, misalnya penghapusan pidana terhadap pengusaha, Seolah manusia tidak lagi sama dimata hukum. Kemudian kerusakan lingkungan hidup disektor perizinan akibat dimudahkannya tahapan tanpa memperhatikan dampak lingkungan.
Parahnya lagi, Dihapuskannya hak-hak buruh semisal penghilangan upah minimum, penghapusan pesangon, perubahan skema pengupahan menjadi perjam, hilangnya hak jaminan sosial, dan masih banyak lagi dampak buruk Omnibus Law ini bagi buruh/pekerja. Untuk kaum pekerja perempuan yakni masa haid dan masa hamil yang pastinya akan ikut terhapus juga.
Maka jelas bukan lagi solusi terhadap masalah yang ada, tetapi menambah masalah baru. Apalagi dalam perumusan kebijakan tersebut tidak melalui dan melibatkan partisipasi publik. Karena bagaimanapun peraturan atau kebijakan yang ingin dibuat oleh pemerintah dan DPR tanpa keterlibatan publik dan mempertimbangkan keinginan publik, maka UU atau kebijakan tersebut perlu dicurigai adanya.
Kepala Divisi Kampanye dan Perluasan Jaringan
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Sulawesi Selatan.
Omnibus Law adalah regulasi atau undang-undang yang mencakup isu atau topik dalam suatu penciptaan hukum. Secara Harfiah, definisi omnibus law adalah hukum yang dibuat untuk semua peraturan, yang dimana terdapat tumpang tindih norma antara satu dengan yang lainnya.
Bisa disimpulkan bahwa Omnibus Law adalah UU baru yang memuat beragam substansi aturan yang keberadaannya merevisi atau mengubah beberapa UU sekaligus.
Oktober 2019 silam, Presiden Jokowi menyebutkan bahwa Omnibus Law akan menyederhanakan kendala regulasi yang kerap berbelit-belit dan panjang, sehingga alasan pemerintah membuat Omnibus Law lantaran sudah terlalu banyak regulasi dengan regulasi lainnya saling tumpang tindih dan menghambat akses pelayanan publik serta kemudahan berusaha.
Secara konsep Omnibus Law mumpuni terhadap tumpang tindihnya regulasi, tetapi secara perencanaan Negara terhadap konsep Omnibus Law di Indonesia perlu diperhatiakn dan diperjelas muaranya. Sebab aspek yang ingin diubah berkaitan dengan kepentingan korporat yang dapat menggerogoti kepentingan hidup orang banyak.
Juga konsep Omnibus Law tidak sesuai sistem hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Pasalnya, didalam UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diperbaharui menjadi UU Nomor 15 tahun 2019 yang tidak mengatur mekanisme tentang Omnibus Law, mestinya pemerintah dapat membertimbangkan dan memperjelas arah beberapa UU yang akan direvisi melalui konsep Omnibus Law ini.
Ini bagian dari pada cita-cita masyarakat, agar diselesaikannya beberapa peraturan yang saling berbenturan. Namun fatalnya, jika bagian dari cita-cita tersebut justru disuguhi oleh kepentingan, misalnya penghapusan pidana terhadap pengusaha, Seolah manusia tidak lagi sama dimata hukum. Kemudian kerusakan lingkungan hidup disektor perizinan akibat dimudahkannya tahapan tanpa memperhatikan dampak lingkungan.
Parahnya lagi, Dihapuskannya hak-hak buruh semisal penghilangan upah minimum, penghapusan pesangon, perubahan skema pengupahan menjadi perjam, hilangnya hak jaminan sosial, dan masih banyak lagi dampak buruk Omnibus Law ini bagi buruh/pekerja. Untuk kaum pekerja perempuan yakni masa haid dan masa hamil yang pastinya akan ikut terhapus juga.
Maka jelas bukan lagi solusi terhadap masalah yang ada, tetapi menambah masalah baru. Apalagi dalam perumusan kebijakan tersebut tidak melalui dan melibatkan partisipasi publik. Karena bagaimanapun peraturan atau kebijakan yang ingin dibuat oleh pemerintah dan DPR tanpa keterlibatan publik dan mempertimbangkan keinginan publik, maka UU atau kebijakan tersebut perlu dicurigai adanya.