Sail komodo tahun 2013 merupakan momentum kebangkitan pariwisata di manggarai barat, festival yang mengeksplorasi potensi wisata mulai dari satwa komodo, keindahan laut hingga keanekaragaman hayati di bawah laut berhasil mengangkat nama labuan bajo sebagai salah satu destinasi wisata tingkat dunia.
Seiring dengan suksesnya sail komodo peluang bisnis pagi para investor di ujung pulau barat Flores ini semakin propektif. Para investor asing ataupun domestik berdayung-dayung masuk ke Labuan Bajo untuk menawarkan skema bisnis berupa investasi, entah bersifat asing murni atau patungan dengan pengusaha lokal.
Konsekuensi dari trendingnya kunjungan wisatawan ke Labuan Bajo ini adalah munculnya keinginan penanaman modal yang di dominasi oleh para investor asing. Dari demam pariwisata tersebut secara tidak langsung membentangkan karpet merah seluas-luasnya kepada pengusaha asing.
Padahal, peraturan perundang-undangan yang ada menyatakan sekiranya kepemilikan usaha pariwisata oleh pihak asing jumlahnya di batasi, tidak terkecuali di Labuan Bajo. Setelah investor asing menguasai Labuan Bajo merekapun mengintip peluang yang besar dalam mendatangkan modal untuk berinvestasi yaitu di wilayah pulau komodo, dengan dalil menanam modal yang secara otomatis merenggut kekayaan alam di pulau komodo, pulau yang menjadi lambang besar Manggarai.
Perdebatan yang memanas, mengenai investor asing yang ingin membabat kekayaan alam di pulau komodo yakni, PT.SKL (Segera Komodo Lestari ) dan PT.KWE (Komodo Wild life Ecoturism). Seperti di ketahui bahwa pihak yang lebih mengetahui dan memahami keberadaan komodo dan masyarakat sekitar pulau komodo ialah pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dan Provinsi NTT. Apabila kita sandingkan antara kata investasi dengan pelestarian dan konservasi, maka yang terjadi adalah kehancuran makna.
Dua bentuk kegiatan ini yaitu investasi dan pelestarian atau konservasi jika di analogikan sama saja dengan kawin paksa, dan setiap pemaksaan adalah kehancuran. Seperti diketahui bahwa PT.SKL di beri izin usaha penyediaan sarana wisata alam (IUPSWA) di pulau rinca berdasarkan keputusan kepada BKPM Nomor 7/1 IUPSWA/PMDM/2015 tanggal 17 Desember 2015 seluas 22,1 hektare(ha) atau 0,1 % dari luas pulau rinca (20.721.09 ha) dan yang di izinkan untuk membangun sarana dan prasarana maksimal 10% dari luas izin yang diberikan atau seluas 2,21 ha.
Sementara PT.KWE di berikan IUPSWA di PULAU KOMODO dan PULAU PADAR berdasarkan keputusan menteri kehutanan nomor SK.796/Menhut-II/2014 tanggal 23 september 2014 seluas 426.07 ha,yang terdiri atas 274,13 ha atau 19,6% dari luas pulau padar dan 151,94 ha atau 0,5 % dari luas pulau komodo. sarana dan prasarana di bangun dengan luas maksimal 10% dari luas izin atau sekiar 42,6 ha.
Benar bahwa tidak boleh peraturan yang lebih rendah mendominasi peraturan yang lebih tinggi yang di buat oleh pemerintah pusat. Tetapi apa makna otonomi daerah jika pemerintah pusat tidak mendengarkan pertimbangan pemerintah daerah.pemerintah daerah harus memberikan saran dan masukan sebelum penerapan PERMEN KLHK No:P.8/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2019 tentang pengusahaan pariwisata alam di suka marga satwa taman nasional,taman hutan raya dan taman wisata alam.
Harap di pahami investasi berarti pembangunan besar-besaran, dan pembangunan besar-besaran di kawasan Taman Nasional Komodo akan mengganggu ekosistem yang ada.Terganggunya ekosistem di Taman Nasional Komodo berarti Kepunahan komodo dan kepunahan simbol besar manggarai.
Supaya tidak berlarut dalam situasi yang tidak pasti, saatnya rakyat dan pemerintah daerah sama-sama mengambil peran untuk melawan regulasi yang di terapkan oleh tengkulak-tengkulak rezim mengenai Permen KLHK tersebut.
Karena tidak mudah mendamaikan antara pelestarian, konservasi dengan investasi. Jikalaupun ini tidak disikapi maka harkat dan martabat budaya orang manggarai akan di injak-injak para asing, karena lambang daerah orang manggarai adalah komodo, saatnya satukan kekuatan untuk melawan, sebab jika kita tunduk pada ketakutan, maka kita akan memperpanjang baris perbudakan.
Penulis : Ancik Yunarto
Editor : AZ
Seiring dengan suksesnya sail komodo peluang bisnis pagi para investor di ujung pulau barat Flores ini semakin propektif. Para investor asing ataupun domestik berdayung-dayung masuk ke Labuan Bajo untuk menawarkan skema bisnis berupa investasi, entah bersifat asing murni atau patungan dengan pengusaha lokal.
Konsekuensi dari trendingnya kunjungan wisatawan ke Labuan Bajo ini adalah munculnya keinginan penanaman modal yang di dominasi oleh para investor asing. Dari demam pariwisata tersebut secara tidak langsung membentangkan karpet merah seluas-luasnya kepada pengusaha asing.
Padahal, peraturan perundang-undangan yang ada menyatakan sekiranya kepemilikan usaha pariwisata oleh pihak asing jumlahnya di batasi, tidak terkecuali di Labuan Bajo. Setelah investor asing menguasai Labuan Bajo merekapun mengintip peluang yang besar dalam mendatangkan modal untuk berinvestasi yaitu di wilayah pulau komodo, dengan dalil menanam modal yang secara otomatis merenggut kekayaan alam di pulau komodo, pulau yang menjadi lambang besar Manggarai.
Perdebatan yang memanas, mengenai investor asing yang ingin membabat kekayaan alam di pulau komodo yakni, PT.SKL (Segera Komodo Lestari ) dan PT.KWE (Komodo Wild life Ecoturism). Seperti di ketahui bahwa pihak yang lebih mengetahui dan memahami keberadaan komodo dan masyarakat sekitar pulau komodo ialah pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dan Provinsi NTT. Apabila kita sandingkan antara kata investasi dengan pelestarian dan konservasi, maka yang terjadi adalah kehancuran makna.
Dua bentuk kegiatan ini yaitu investasi dan pelestarian atau konservasi jika di analogikan sama saja dengan kawin paksa, dan setiap pemaksaan adalah kehancuran. Seperti diketahui bahwa PT.SKL di beri izin usaha penyediaan sarana wisata alam (IUPSWA) di pulau rinca berdasarkan keputusan kepada BKPM Nomor 7/1 IUPSWA/PMDM/2015 tanggal 17 Desember 2015 seluas 22,1 hektare(ha) atau 0,1 % dari luas pulau rinca (20.721.09 ha) dan yang di izinkan untuk membangun sarana dan prasarana maksimal 10% dari luas izin yang diberikan atau seluas 2,21 ha.
Sementara PT.KWE di berikan IUPSWA di PULAU KOMODO dan PULAU PADAR berdasarkan keputusan menteri kehutanan nomor SK.796/Menhut-II/2014 tanggal 23 september 2014 seluas 426.07 ha,yang terdiri atas 274,13 ha atau 19,6% dari luas pulau padar dan 151,94 ha atau 0,5 % dari luas pulau komodo. sarana dan prasarana di bangun dengan luas maksimal 10% dari luas izin atau sekiar 42,6 ha.
Benar bahwa tidak boleh peraturan yang lebih rendah mendominasi peraturan yang lebih tinggi yang di buat oleh pemerintah pusat. Tetapi apa makna otonomi daerah jika pemerintah pusat tidak mendengarkan pertimbangan pemerintah daerah.pemerintah daerah harus memberikan saran dan masukan sebelum penerapan PERMEN KLHK No:P.8/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2019 tentang pengusahaan pariwisata alam di suka marga satwa taman nasional,taman hutan raya dan taman wisata alam.
Harap di pahami investasi berarti pembangunan besar-besaran, dan pembangunan besar-besaran di kawasan Taman Nasional Komodo akan mengganggu ekosistem yang ada.Terganggunya ekosistem di Taman Nasional Komodo berarti Kepunahan komodo dan kepunahan simbol besar manggarai.
Supaya tidak berlarut dalam situasi yang tidak pasti, saatnya rakyat dan pemerintah daerah sama-sama mengambil peran untuk melawan regulasi yang di terapkan oleh tengkulak-tengkulak rezim mengenai Permen KLHK tersebut.
Karena tidak mudah mendamaikan antara pelestarian, konservasi dengan investasi. Jikalaupun ini tidak disikapi maka harkat dan martabat budaya orang manggarai akan di injak-injak para asing, karena lambang daerah orang manggarai adalah komodo, saatnya satukan kekuatan untuk melawan, sebab jika kita tunduk pada ketakutan, maka kita akan memperpanjang baris perbudakan.
Penulis : Ancik Yunarto
Editor : AZ