Dunia bergetar ketika konfrontasi antara Iran vs Amerika serikat pecah di timur tengah. Keping peristiwa yang kiranya membuat melek mata kita bahwa apa yang sedang terjadi di dunia internasional.
Semakin jelaslah, apabila pelbagai persoalan di beberapa belahan bumi ini termasuk kudeta yang terjadi di Bolivia terhadap presiden rakyat Evo Morales yang di lakukan oleh militer pro Amerika serikat. Ancaman invasi Amerika serikat ke Venezuala, dan masih banyak lagi. Tak usahlah kita merumitkan soal perebutan Natuna, karena mungkin, itu bagian dari pengalihan isu terhadap rentetan panjang tanda-tanda krisisnya kaum pemodal.
Menarik untuk di cari akarnya berbagai persoalan itu, bahwa ini adalah kebuntuan Kapitalisme atau multinasional koorparasi yang senantiasa melakukan eksploitasi dan ekplorasi sumber daya alam dan sumber daya manusia di negara koloninya.
Indonesia, kita tahu bersama adalah sebuah negara dengan keanekaragaman budaya dan komoditas. Beberan pemerintah bahwa pertumbuhan ekonomi kita meningkat, sebenarnya apanya yang meningkat ? Kita jumpai bersama dimana akses pendidikan yang semakin mahal, kesehatan makin sulit untuk di dapatkan, daya beli masyarakat rendah karena penghasilan mayoritas rakyat indonesia di bawah rata-rata.
Hanya 1,1 persen orang dewasa di Indonesia yang memiliki kekayaan di atas 100.000 dollar AS (Rp 1,4 miliar), dibandingkan dengan 10,6 persen proporsi global. Selain itu, hanya 115.000 penduduk Indonesia masuk dalam 1 persen orang yang memegang kekayaan global, angka tersebut cenderung rendah untuk negara dengan populasi penduduk dewasa mencapai 173 juta jiwa, laporan dikutip dari Kompas.com
Memasuki tahun 2020 kita di hantam oleh rancangan aturan oleh pemerintah yang di sebut Omnibus Law CILAKA (Cipta Lapangan Kerja). Omnibus Law di usulkan pemerintah untuk membuka ruang yang lebih luas bagi investasi demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara. Pertanyaannya pertumbuhan ekonomi untuk apa kalau tidak berdampak bagi kesejahteraan rakyat ? Kalau dalihnya melalui pembangunan infrastruktur, nyatanya infrastruktur yang di bangun melalui APBN lebih prioritas untuk akses para kapital untuk memperjanjang nafasnya.
Omnibus Law CILAKA, memberikan gambaran kepada kita betapa tergantungnya pemerintah terhadap modal asing. Hingga konstitusi di gerogoti demi tumbuh suburnya investasi. Buruh sebagai jantung ekonomi produksi negara dijadikan tumbal eksperimen penguasa. Upah yang di berikan tiap bulan, kini di rancang untuk di bayarkan melalui hitungan perjam. Pesangon sebagai jaminan masa tua buruh, di hapuskan kemudian di ganti dengan upah lanjutan yang sangat jauh dari semestinya.
Sampai hari ini buruh sebagai penyumbang devisa terbesar melalui industri belum pernah merasakan kesejahteraan, Negara belum hadir sebagai jaring kesejahteraan bagi buruh. Negara makin hari makin tunduk bak pelayan bagi investasi. Bahkan melalui Omnibus Law CILAKA perusahaan yang melakukan tindakan sewenang-wenang, kini tidak akan di pidana.
Anak buruh akan semakin sulit mengejar cita-citanya, sebab untuk makan makanan bergizi pun semakin sulit. Sebagai generasi muda kini ditantang untuk menjawab problema yang ada. Kita tinggal memilih pasrah mengikuti arus, atau akan melawan ketidakadilan yang ada. Namun pilihan itu jatuh kepada pilihan melawan ketidakadilan, mau tidak mau, suka tidak suka, sebelum kita di gilas lagu kematian yang dengungkan penguasa.
Indonesia semakin jauh dari cita-cita pendiri bangsa ini. Ir. Soekarno menitipkan cita-cita itu dalam Trisaktinya. Mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian budaya. Hadirnya Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, membunuh cita-cita tersebut. Kontradiktif dengan semangat Revolusi Nasional 1945 dan Reformasi 1998.
Kalau rezim Orde Baru dulu membuat UU Penanaman Modal Asing di tahun 1968 yang menjadi pintu masuk penjajah kembali mengambil SDA kita, di tahun 2020 Rezim Joko Widodo - Ma'ruf Amin menggodok aturan untuk menghancurkan pintu tersebut, hingga penjajah akan sangat mudah masuk karena tanpa pintu.
Penulis : Andi E. Mattumi (Gerakan Revolusi Demokratik)
Semakin jelaslah, apabila pelbagai persoalan di beberapa belahan bumi ini termasuk kudeta yang terjadi di Bolivia terhadap presiden rakyat Evo Morales yang di lakukan oleh militer pro Amerika serikat. Ancaman invasi Amerika serikat ke Venezuala, dan masih banyak lagi. Tak usahlah kita merumitkan soal perebutan Natuna, karena mungkin, itu bagian dari pengalihan isu terhadap rentetan panjang tanda-tanda krisisnya kaum pemodal.
Menarik untuk di cari akarnya berbagai persoalan itu, bahwa ini adalah kebuntuan Kapitalisme atau multinasional koorparasi yang senantiasa melakukan eksploitasi dan ekplorasi sumber daya alam dan sumber daya manusia di negara koloninya.
Indonesia, kita tahu bersama adalah sebuah negara dengan keanekaragaman budaya dan komoditas. Beberan pemerintah bahwa pertumbuhan ekonomi kita meningkat, sebenarnya apanya yang meningkat ? Kita jumpai bersama dimana akses pendidikan yang semakin mahal, kesehatan makin sulit untuk di dapatkan, daya beli masyarakat rendah karena penghasilan mayoritas rakyat indonesia di bawah rata-rata.
Hanya 1,1 persen orang dewasa di Indonesia yang memiliki kekayaan di atas 100.000 dollar AS (Rp 1,4 miliar), dibandingkan dengan 10,6 persen proporsi global. Selain itu, hanya 115.000 penduduk Indonesia masuk dalam 1 persen orang yang memegang kekayaan global, angka tersebut cenderung rendah untuk negara dengan populasi penduduk dewasa mencapai 173 juta jiwa, laporan dikutip dari Kompas.com
Memasuki tahun 2020 kita di hantam oleh rancangan aturan oleh pemerintah yang di sebut Omnibus Law CILAKA (Cipta Lapangan Kerja). Omnibus Law di usulkan pemerintah untuk membuka ruang yang lebih luas bagi investasi demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara. Pertanyaannya pertumbuhan ekonomi untuk apa kalau tidak berdampak bagi kesejahteraan rakyat ? Kalau dalihnya melalui pembangunan infrastruktur, nyatanya infrastruktur yang di bangun melalui APBN lebih prioritas untuk akses para kapital untuk memperjanjang nafasnya.
Omnibus Law CILAKA, memberikan gambaran kepada kita betapa tergantungnya pemerintah terhadap modal asing. Hingga konstitusi di gerogoti demi tumbuh suburnya investasi. Buruh sebagai jantung ekonomi produksi negara dijadikan tumbal eksperimen penguasa. Upah yang di berikan tiap bulan, kini di rancang untuk di bayarkan melalui hitungan perjam. Pesangon sebagai jaminan masa tua buruh, di hapuskan kemudian di ganti dengan upah lanjutan yang sangat jauh dari semestinya.
Sampai hari ini buruh sebagai penyumbang devisa terbesar melalui industri belum pernah merasakan kesejahteraan, Negara belum hadir sebagai jaring kesejahteraan bagi buruh. Negara makin hari makin tunduk bak pelayan bagi investasi. Bahkan melalui Omnibus Law CILAKA perusahaan yang melakukan tindakan sewenang-wenang, kini tidak akan di pidana.
Anak buruh akan semakin sulit mengejar cita-citanya, sebab untuk makan makanan bergizi pun semakin sulit. Sebagai generasi muda kini ditantang untuk menjawab problema yang ada. Kita tinggal memilih pasrah mengikuti arus, atau akan melawan ketidakadilan yang ada. Namun pilihan itu jatuh kepada pilihan melawan ketidakadilan, mau tidak mau, suka tidak suka, sebelum kita di gilas lagu kematian yang dengungkan penguasa.
Indonesia semakin jauh dari cita-cita pendiri bangsa ini. Ir. Soekarno menitipkan cita-cita itu dalam Trisaktinya. Mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian budaya. Hadirnya Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, membunuh cita-cita tersebut. Kontradiktif dengan semangat Revolusi Nasional 1945 dan Reformasi 1998.
Kalau rezim Orde Baru dulu membuat UU Penanaman Modal Asing di tahun 1968 yang menjadi pintu masuk penjajah kembali mengambil SDA kita, di tahun 2020 Rezim Joko Widodo - Ma'ruf Amin menggodok aturan untuk menghancurkan pintu tersebut, hingga penjajah akan sangat mudah masuk karena tanpa pintu.
Penulis : Andi E. Mattumi (Gerakan Revolusi Demokratik)