Perihal penangkapan massa aksi yang melakukan unjuk rasa menyikapi pernyataan rasial terhadap mahasiswa papua, berikut pernyataan LBH PAPUA yang di lansir melalui fanpagenya.
Siaran Pers
Nomor : 06/SP-LBH-Papua/2019
APARAT PENEGAK HUKUM
DALAM MENANGKAP DAN MENAHAN MASA AKSI ANTI RASISME
WAJIB MENAATI UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA
“Polisi Dilarang Melakukan Tindakan Penyalahgunaan Kewenangan Dalam Menjalankan Tugas Penegakan Hukum”
Sejak Presiden Republik Indonesia dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia memerintahkan penegakan hukum terhadap seluruh pelaku pelanggaran hukum pasca aksi rasisme di Surabaya dan Malang bulan Agustus 2019 lalu. Tercatat puluhan masa aksi rasisme ditangkap dan ditetapkan menjadi tersangka dengan berbagai pasal dalam berbagai peraturan perundang-undangan oleh penyidik setempat.
Dari pantauan LBH Papua, sejak tanggal 19 Agustus 2019 – 6 September 2019 terjadi penagkapan dan penahanan terhadap masa aksi anti rasisme dibeberapa kota, seperti : di Timika ada 8 (orang), di Jayapura ada 35 orang (30 orang masa aksi rasisme dan 5 orang masa masyarakat non papua), di Deiyai ada 16 Orang, di Manokwari ada 18 orang, di Sorong ada 14 orang, di Jakarta ada 6 orang dan mungkin kedepan akan dilakukan penangkapan lagi. Terlepas dari penangkapan dan penahanan secara khusus di Fak-fak ada 6 orang yang dipangil sebagai saksi.
Dalam situasi itu, LBH Papua mengharapkan agar aparat penegak hukum diwilayah hukum tempat dilakukannya penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka terhadap masa aksi anti rasisme diwajibkan untuk mengedepankan “Prinsip setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” sebagaimana dijamin pada pasal 28D ayat (1), UUD 1945. Dalam rangka memenuhi hak konstitusional warga negara yang berhadapan dengan hukum, secara teknis telah diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Berkaitan dengan penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka terhadap puluhan masa aksi anti rasisme diatas, sampai hari ini belum diketahui secara pasti apakah aparat penegak hukum telah melakukannya sesuai dengan mekanisme penangkapan sebagaimana diatur pada Pasal 18 ayat (1) dan (3), UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, sebagai berikut : “Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan”.
Berdasarkan pantauan dibeberapa kota, penangkapan dan penahanan dilakukan selama 2 sampai 4 hari selanjutnya ditetapkan menjadi Tersangka dan bahkan ada yang masih sakit tetapi langsung ditahan sebagaimana yang dialami oleh masa aksi anti rasisme di Deiyai. Selain itu, adapula masa aksi anti rasisme yang ditahan di Polda Papua sejak tanggal 28 Agustus 2019 hingga dipulangkan pada tanggal 3 September 2019 tanpa status tersangka. Fakta tersebut jelas-jelas bertentangan dengan “Prinsip Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup hanya dapat dilakukan untuk paling lama satu hari" sebagaimana diatur pada pasal 17 junto 19 ayat (1), UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Terlepas dari fakta penangkapan dan penahanan diatas, dalam rangka memenuhi hak konstitusional warga negara yang berhadapan dengan hukum, telah diberlakukan UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum sehingga menjadi kewajiban konstitusional bagi Aparat Penegak Hukum untuk menerapkannya. Secara khusus menyangkut pemenuhan hak konstitusional bagi tersangka dalam rangka memperjuangkan hak-haknya dihadapan hukum telah diatur pada Pasal 54, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai berikut : “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini”. Secara teknis terkait mekanisme pemenuhannya sebagai berikut : “Untuk mendapatkan penasehat hukum tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasehat hukumnya” sebagaimana diatur pada pasal 55, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Sekalipun demikian mekanismenya, pada prakteknya Aparat penegak Hukum di Polda Papua tidak mengimplementasi hak konstitusional tersangka sebagaimana pada pasal 55, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Fakta tersebut diketahui langsung dari Aparat Penegak Hukum di Polda Papua dimana Penyidik Polda Papua mengambil inisiatif sendiri untuk menunjuk Penasehat Hukum tanpa menanyakan atau memberikan ruang kepada tersangka untuk memilik sendiri Penasehat Hukum sebagaimana dialami oleh 28 orang yang ditangkap diamankan di Polda Papua pada tanggal 28 Agustus 2019 sehingga dalam pemeriksaan tahap pertama didampingi oleh Penasehat Hukum yang dipilih dan ditunjuk oleh penyidik sendiri, padahal secara terpisah keluarga tersangka telah memilih dan menunujuk penasehat hukum lainnya. Sampai saat ini, sudah ada 2 orang lagi yang ditahan oleh Penyidik Polda Papua pada tanggal 6 September 2019 yang dikhawatirkan adalah penyidik mengulangi lagi tindakan penunjukan dan pemilihan penasehat hukum sendiri tanpa memberikan kesempatan kepada tersangka atau keluarga tersangka untuk memilih dan menunjukan Penasehat hukum.
Berdasarkan pada fakta diatas, LBH Papua merasa khawatir kondisi serupa dialami oleh masa aksi rasisme yang ditahan oleh Aparat Penegak Hukum di beberapa kantor polisi dalam wilayah hukum Polda Papua, Polda Papua dan Polda Metro Jaya. Atas dasar kekhawatiran itu, LBH Papua mengingatkan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan tugasnya dengan mengedepankan “Prinsip setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” sebagaimana dijamin pada pasal 28D ayat (1), UUD 1945, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan arahan Pasal 16, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, sebagai berikut :
Pasal 16
(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :
a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan;
i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut :
a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
e. menghormati hak asasi manusia.
Apabila dalam melakukan tindakan penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka terhadap masa aksi anti rasisme Aparat Penegak Hukum mengabaikan perintah UUD 1945, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan arahan Pasal 16, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia maka secara jelas-jelas menunjukan fakta “Aparat penegakan Hukum melakukan tindakan yang dilarang yaitu Penyalahgunaan Kewenangan sebagaimana diatur pada pasal 6 huruf q, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia”.
Dalam rangka melindungi hak asasi manusia seluruh warga negara termasuk masa aksi anti rasisme yang sedang menghadapi tindakan penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka yang sedang dilakukan oleh penegak hukum maka kami Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH Papua) menegaskan kepada :
1. Kapolri cq Kapolda Papua Cq Kapolda Papua Barat Cq Kapores Cq Kapolresta dalam wilayah hukum Polda Papua dan Papua Barat mengedepankan pasal 28D ayat (1), UUD 1945, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan arahan Pasal 16, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dalam melakukan penegakan hukum terhadap masa aksi anti rasisme;
2. Pimpinan Propamnas untuk memantau dan mengawasi secara langsung seluruh proses penegakan hukum terhadap masa aksi anti rasisme di wilayah hukum Polda Metro Jaya, Polda Papua dan Polda Papua Barat untuk menghindari terjadinya dugaan tindakan pelanggaran kode etik sebagaimana diatur pada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
3. Pipinan Komisi Kepolisian Republik Indonesia untuk memantau dan mengawasi secara langsung seluruh proses penegakan hukum terhadap masa aksi anti rasisme di wilayah hukum Polda Metro Jaya, Polda Papua dan Polda Papua Barat menghindari tindakan pelanggaran UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
4. Ombudsmen Republik Indonesia Pusat dan Ombusment Republik Indonesia Perwakilan Papua memantau, mengawasi dan menyelidik dugaan penyalagunaan kewenangan atau mal alministrasi yang terjadi dalam proses penegakan hukum terhadap masa aksi anti rasisme di wilayah hukum Polda Metro Jaya, Polda Papua dan Polda Papua Barat untuk menghindari terjadinya dugaan penyalagunaan kewenangan sebagaimana diatur pada pasal 6 huruf q, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
Demikin siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih.
Abepura, 9 September 2019
Hormat Kami
Lembaga Bantuan hukum Papua
Emanuel Gobay, S.H., MH
(Direktur)
Siaran Pers
Nomor : 06/SP-LBH-Papua/2019
APARAT PENEGAK HUKUM
DALAM MENANGKAP DAN MENAHAN MASA AKSI ANTI RASISME
WAJIB MENAATI UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA
“Polisi Dilarang Melakukan Tindakan Penyalahgunaan Kewenangan Dalam Menjalankan Tugas Penegakan Hukum”
Sejak Presiden Republik Indonesia dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia memerintahkan penegakan hukum terhadap seluruh pelaku pelanggaran hukum pasca aksi rasisme di Surabaya dan Malang bulan Agustus 2019 lalu. Tercatat puluhan masa aksi rasisme ditangkap dan ditetapkan menjadi tersangka dengan berbagai pasal dalam berbagai peraturan perundang-undangan oleh penyidik setempat.
Dari pantauan LBH Papua, sejak tanggal 19 Agustus 2019 – 6 September 2019 terjadi penagkapan dan penahanan terhadap masa aksi anti rasisme dibeberapa kota, seperti : di Timika ada 8 (orang), di Jayapura ada 35 orang (30 orang masa aksi rasisme dan 5 orang masa masyarakat non papua), di Deiyai ada 16 Orang, di Manokwari ada 18 orang, di Sorong ada 14 orang, di Jakarta ada 6 orang dan mungkin kedepan akan dilakukan penangkapan lagi. Terlepas dari penangkapan dan penahanan secara khusus di Fak-fak ada 6 orang yang dipangil sebagai saksi.
Dalam situasi itu, LBH Papua mengharapkan agar aparat penegak hukum diwilayah hukum tempat dilakukannya penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka terhadap masa aksi anti rasisme diwajibkan untuk mengedepankan “Prinsip setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” sebagaimana dijamin pada pasal 28D ayat (1), UUD 1945. Dalam rangka memenuhi hak konstitusional warga negara yang berhadapan dengan hukum, secara teknis telah diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Berkaitan dengan penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka terhadap puluhan masa aksi anti rasisme diatas, sampai hari ini belum diketahui secara pasti apakah aparat penegak hukum telah melakukannya sesuai dengan mekanisme penangkapan sebagaimana diatur pada Pasal 18 ayat (1) dan (3), UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, sebagai berikut : “Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan”.
Berdasarkan pantauan dibeberapa kota, penangkapan dan penahanan dilakukan selama 2 sampai 4 hari selanjutnya ditetapkan menjadi Tersangka dan bahkan ada yang masih sakit tetapi langsung ditahan sebagaimana yang dialami oleh masa aksi anti rasisme di Deiyai. Selain itu, adapula masa aksi anti rasisme yang ditahan di Polda Papua sejak tanggal 28 Agustus 2019 hingga dipulangkan pada tanggal 3 September 2019 tanpa status tersangka. Fakta tersebut jelas-jelas bertentangan dengan “Prinsip Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup hanya dapat dilakukan untuk paling lama satu hari" sebagaimana diatur pada pasal 17 junto 19 ayat (1), UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Terlepas dari fakta penangkapan dan penahanan diatas, dalam rangka memenuhi hak konstitusional warga negara yang berhadapan dengan hukum, telah diberlakukan UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum sehingga menjadi kewajiban konstitusional bagi Aparat Penegak Hukum untuk menerapkannya. Secara khusus menyangkut pemenuhan hak konstitusional bagi tersangka dalam rangka memperjuangkan hak-haknya dihadapan hukum telah diatur pada Pasal 54, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai berikut : “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini”. Secara teknis terkait mekanisme pemenuhannya sebagai berikut : “Untuk mendapatkan penasehat hukum tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasehat hukumnya” sebagaimana diatur pada pasal 55, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Sekalipun demikian mekanismenya, pada prakteknya Aparat penegak Hukum di Polda Papua tidak mengimplementasi hak konstitusional tersangka sebagaimana pada pasal 55, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Fakta tersebut diketahui langsung dari Aparat Penegak Hukum di Polda Papua dimana Penyidik Polda Papua mengambil inisiatif sendiri untuk menunjuk Penasehat Hukum tanpa menanyakan atau memberikan ruang kepada tersangka untuk memilik sendiri Penasehat Hukum sebagaimana dialami oleh 28 orang yang ditangkap diamankan di Polda Papua pada tanggal 28 Agustus 2019 sehingga dalam pemeriksaan tahap pertama didampingi oleh Penasehat Hukum yang dipilih dan ditunjuk oleh penyidik sendiri, padahal secara terpisah keluarga tersangka telah memilih dan menunujuk penasehat hukum lainnya. Sampai saat ini, sudah ada 2 orang lagi yang ditahan oleh Penyidik Polda Papua pada tanggal 6 September 2019 yang dikhawatirkan adalah penyidik mengulangi lagi tindakan penunjukan dan pemilihan penasehat hukum sendiri tanpa memberikan kesempatan kepada tersangka atau keluarga tersangka untuk memilih dan menunjukan Penasehat hukum.
Berdasarkan pada fakta diatas, LBH Papua merasa khawatir kondisi serupa dialami oleh masa aksi rasisme yang ditahan oleh Aparat Penegak Hukum di beberapa kantor polisi dalam wilayah hukum Polda Papua, Polda Papua dan Polda Metro Jaya. Atas dasar kekhawatiran itu, LBH Papua mengingatkan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan tugasnya dengan mengedepankan “Prinsip setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” sebagaimana dijamin pada pasal 28D ayat (1), UUD 1945, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan arahan Pasal 16, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, sebagai berikut :
Pasal 16
(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :
a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan;
i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut :
a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
e. menghormati hak asasi manusia.
Apabila dalam melakukan tindakan penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka terhadap masa aksi anti rasisme Aparat Penegak Hukum mengabaikan perintah UUD 1945, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan arahan Pasal 16, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia maka secara jelas-jelas menunjukan fakta “Aparat penegakan Hukum melakukan tindakan yang dilarang yaitu Penyalahgunaan Kewenangan sebagaimana diatur pada pasal 6 huruf q, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia”.
Dalam rangka melindungi hak asasi manusia seluruh warga negara termasuk masa aksi anti rasisme yang sedang menghadapi tindakan penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka yang sedang dilakukan oleh penegak hukum maka kami Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH Papua) menegaskan kepada :
1. Kapolri cq Kapolda Papua Cq Kapolda Papua Barat Cq Kapores Cq Kapolresta dalam wilayah hukum Polda Papua dan Papua Barat mengedepankan pasal 28D ayat (1), UUD 1945, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan arahan Pasal 16, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dalam melakukan penegakan hukum terhadap masa aksi anti rasisme;
2. Pimpinan Propamnas untuk memantau dan mengawasi secara langsung seluruh proses penegakan hukum terhadap masa aksi anti rasisme di wilayah hukum Polda Metro Jaya, Polda Papua dan Polda Papua Barat untuk menghindari terjadinya dugaan tindakan pelanggaran kode etik sebagaimana diatur pada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
3. Pipinan Komisi Kepolisian Republik Indonesia untuk memantau dan mengawasi secara langsung seluruh proses penegakan hukum terhadap masa aksi anti rasisme di wilayah hukum Polda Metro Jaya, Polda Papua dan Polda Papua Barat menghindari tindakan pelanggaran UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
4. Ombudsmen Republik Indonesia Pusat dan Ombusment Republik Indonesia Perwakilan Papua memantau, mengawasi dan menyelidik dugaan penyalagunaan kewenangan atau mal alministrasi yang terjadi dalam proses penegakan hukum terhadap masa aksi anti rasisme di wilayah hukum Polda Metro Jaya, Polda Papua dan Polda Papua Barat untuk menghindari terjadinya dugaan penyalagunaan kewenangan sebagaimana diatur pada pasal 6 huruf q, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
Demikin siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih.
Abepura, 9 September 2019
Hormat Kami
Lembaga Bantuan hukum Papua
Emanuel Gobay, S.H., MH
(Direktur)