×

Iklan

Iklan

Indeks Berita


Mengulik TAP MPRS XXV/1966 Tentang Pembubaran PKI dan Pelarangan Marxisme

August 06, 2019 Last Updated 2020-09-03T12:25:29Z



Beberapa pekan terakhir razia buku-buku yang di duga berhaluan Komunisme jadi trending topik hampir di seluruh media sosial dan WAG. Diketahui razia yang terjadi Gramedia TSM Makassar, dilakukan oleh ormas BMI.

SEJARAH TAP MPRS XXV TAHUN 1996

Peristiwa G-30-S pada tahun 1965 yang memakan korban jiwa terbunuhnya 6 Jenderal Angkatan Darat, dan satu perwira pertama. Peristiwa inilah yang kemudian memicu para Jenderal Angkatan Darat untuk mendesak Soekarno agar memberi wewenang khusus pada Soeharto. Wewenang khusus lewat supersemar pun kemudian diberikan oleh Soekarno. (Caldwell dkk, 2011:282).

Di lansir melalui wikipedia, kalangan sejarawan dan hukum Indonesia mengatakan bahwa Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR) adalah salah satu dari sekian sejarah Indonesia yang masih gelap.





Hanya berselang satu hari, Lewat Dekrit Presiden No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966, dengan dalih “atas perintah presiden”, Soeharto membubarkan PKI dan organisasi komunis lainnya (Caldwell dkk, 2011 : 282).

Sebagai akibat logis dari peristiwa pengkhianatan G-30-S, mutlak diperlukan adanya koreksi total atas seluruh kebijaksanaan yang telah diambil sebelumnya dalam kehidupan kenegaraan. Lembaga MPRS yang pembentukannya didasarkan pada Dekret Presiden 5 Juli 1959 dan selanjutnya diatur dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, setelah terjadi pemberontakan G-30-S, Penetapan Presiden tersebut dipandang tidak memadai lagi.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka diadakan langkah pemurnian keanggotaan MPRS dari unsur PKI, dan ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1966 bahwa sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat, maka MPRS menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945 sampai MPR hasil Pemilihan Umum terbentuk.

Kemudian pada tanggal 20 Juni –5 Juli 1966, MPRS mengadakan Sidang Umum yang dipimpin oleh A.H Nasution, jenderal yang selamat dari percobaan pembunuhan tragedi G30S. Sidang tersebut menghasilkan berbagai keputusan yang memperkuat Supersemar, diantaranya:

  • Tap No. IX/MPRS/1966 berisi pengukuhan Supersemar sehingga Presiden Soekarno tidak dapat mencabutnya.
  • Tap No. X/MPRS/1966 berisi pengukuhan kedudukan MPRS sebagai MPR berdasarkan UUD 1945. 
  • Tap No. XI/MPRS/1966, menetapkan penyelenggaraan Pemilu paling lambat tanggal 5 Juli 1968. 
  • Tap No. XIII/MPRS/1966, berisi pemberian kekuasaan kepada Jenderal Soeharto untuk membentuk Kabinet Ampera. 
  • Tap No. XVIII/MPRS/1966, berisi pencabutan Tap No. III/MPRS/1963 yang berisi pengangkatan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. 
  • Tap No. XXV/MPRS/1966, berisi pengukuhan atas pembubaran PKI dan ormas-ormasnya serta melarang penyebaran ajaran marxisme dan komunisme di Indonesia. 
Pada tanggal 22 Juni 1966, Soekarno mengajukan pertanggungjawaban dalam kapasitasnya sebagai Mandataris MPRS dengan pidato yang berjudul “Nawaksara”. Pertanggungjawaban Soekarno ditolak oleh MPRS karena dinilai 'tidak memenuhi harapan anggota-anggota MPRS dan bangsa pada umumnya' dan tidak menjelaskan secara detail mengenai pandangan presiden terhadap pemberontakan yang diduga didalangi PKI, partai yang notabene merupakan pengisi dari konsepsi Nasakom yang diajukan oleh Soekarno.

Kemudian Soekarno mengajukan kembali pertanggung jawaban yang berjudul “Pelengkap Nawaksara” lagi-lagi ditolak oleh MPRS yang kemudian berujung pada transfer kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto pada tanggal 24 Februari 1967 di Istana Negara yang dikukuhkan oleh Tap No. XXXIII/MPRS/1967.

KONTROVERSI TAP MPRS XXV TAHUN 1966

Dilansir melalui kompasiana.com, dari analisis administrasi pemerintahan, Surat Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966 cacat karena dibuat berdasarkan sebuah surat perintah.

Surat Perintah adalah landasan yuridis pelaksanaan pekerjaan pemerintahan yang bersifat biasa. Semua pejabat yang memiliki kewenangan dapat mengeluarkan surat perintah kepada stafnya dalam pelaksanaan tugas tertentu. Dalam praktek administrasi, surat perintah hanya 'setingkat' kedudukannya diatas nota dinas, atau 'dua tingkat' di atas perintah lisan.

Sementara Surat Keputusan merupakan produk administrasi yang mengatur hal-hal yang bersifat khusus. Keputusan Presiden sendiriberisi keputusan yang bersifat khusus (einmalig). Sedikitnya ada tiga macam keputusan presiden. Pertama, keputusan pengangkatan pejabat. Kedua, keputusan pemberian tunjangan. Ketiga, keputusan untuk mengatur hal-hal yang bersifat khusus berdasarkan ketentuan yang lebih tinggi yang mengatur hal-hal yang bersifat umum.

Yang menarik kemudian adalah produk Undang-Undang yang lahir sebagai legitimasi pembubaran PKI dan pelarangan terhadap Marxisme-Leninisme yang diklaim sebagai ideologi dari PKI. Dalam TAP MPRS No. XXV tahun 1966 terdapat beberapa pasal yang menggambarkan kondisi politik pada masa itu.

Pertama, "Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang," Pasal 2 TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966.

"Khususnya mengenai kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada Universitas-universitas, faham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila, dapat dilakukan secara terpimpin, dengan ketentuan,bahwa Pemerintah dan DPR-GR diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan," Pasal 3 TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966.

Dasar pertimbangan dari TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 adalah:

  • Bahwa faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada inti hakekatnya bertentangan dengan Pancasila.
  • Bahwa orang-orang dan golongan-golongan di Indonesia yang menganut faham atau ajaran Komunisme/Marxisme- Leninisme, khususnya Partai Komunis Indonesia, dalam sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia telah nyata-nyata terbukti beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia yang sah dengan jalan kekerasan.
  • Bahwa berhubung dengan itu, perlu mengambil tindakan tegas terhadap Partai Komunis Indonesia dan terhadap kegiatan-kegiatan yang menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme” (TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966).
Proposisi dasar pertimbangan TAP MPRS No. XXV/ 1966 adalah kontradiksi hakiki antara ideologi Komunisme dan Pancasila. Padahal masyarakat komunis menurut Marx adalah masyarakat yang berpola, “From each according to his ability, to each according to his needs”. Distribusi kerja dan hasil berdasarkan prinsip ini adalah bersifat proporsional.

Ini sejalan dengan sila kelima Pancasila yaitu, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dari sini bisa ditarik kesimpulan jika ada sebuah kesamaan maka ideologi Komunisme dan Pancasila secara hakiki tidak bertentangan. 

TAP MPRS No. XXV/1966 secara hukum bertentangan dengan UUD 1945, karena dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (3) yang ditulis dalam poin “mengingat” pada TAP MPRS No. XXV/1966- yang menjadi representasi dari rakyat, dan berhak membuat keputusan dan Undang-Undang atas nama rakyat (UUD 1945 pasal 3 dalam Tumakaka, 1998 : 164)) adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), bukan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara).

Sebagaimana diketahui, Pancasila adalah sumber dari semua peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sumber hukum meliputi dua macam pengertian yaitu: pertama, sumber hukum formal, yaitu sumber hukum dilihat dari bentuk dan tata cara penyusunan hukum yang mengikat masyarakat, seperti Undang-Undang, ketetapan presiden, peraturan menteri.

Kedua, sumber hukum material yang menentukan materi dan isi suatu norma hukum. Jika sebuah norma hukum memiliki kontradiksi dengan norma hukum lainnya yang lebih tinggi, apalagi dengan Pancasila, maka terjadilah sebuah inkonstitusionalitas dan ketidaklegalan. Oleh karena itu norma hukum tersebut batal demi hukum (Gunadarma, 2007:83).



Soeharto menggunakan dalih G-30-S untuk memecah poros NASAKOM yang digagas oleh Soekarno yang terkenal dengan konsep Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme-nya. Bagi Soekarno (sebagaimana tertulis dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi), pergerakan rakyat Indonesia memiliki tiga karakter yaitu, Nasionalistis, Islamistis, dan Marxistis. Menurutnya persatuan tiga ideologi ini bisa menghasilkan kekuatan layaknya ombak yang mempunyai daya terjang yang maha kuat (Soekarno,1964:2).

Menurut Soekarno, seperti dikutip dari buku Revolusi Belum Selesai, komunisme, Marxisme, sosialisme, atau dengan nama apa pun timbul karena sociale verhoundingen atau keadaan sosial-ekonomi yang jelek. "Karena itulah saya anjurkan lebih dulu kepada anggota-anggota MPRS, kalau engkau mengambil keputusan sekadar melarang Marxisme, Leninisme, komunisme, saya akan ketawa," ujarnya.

Presiden Soekarno berpendapat, tindakan yang dilarang adalah yang merugikan rakyat dan negara. "Apa yang bisa engkau larang ialah kegiatan daripada Marxisme atau Komunisme atau Islamisme yang merugikan negara," katanya.

Bung Karno pun menjelaskan bahwa merombak kegiatan-kegiatan yang merugikan negara itu bisa dilakukan, karena itulah dia mati-matian bertempur melawan Darul Islam. "Oleh karena Darul Islam adalah kegiatan islamisme yang ngladrah. Bukan islamisme sejati, yang suci, yang baik, tapi yang ngladrah," ucap Sukarno.

Sejarawan Bonnie Triyana dikutip dari kumparan.com, menilai aksi razia buku ini sebagai "puncak gunung es dari wabah anti-intelektual pada sebagian kalangan masyarakat dan sebagian elit negeri".

Lanjut Bonnie, yang namanya gerakan anti-Sukarno itu sudah ada sejak zaman Orde Baru, istilahnya desukarnoisasi.

Upaya desukarnoisasi ini kenapa? Masih ada kaitannya dengan legitimasi kepemimpinan Soeharto karena dia bukan pemimpin dari hasil pemilihan atau secara demokratis. Dia pemimpin masa krisis. Sehingga, dia butuh mandat dan landasan legal. Nah, legalnya itu dia dapatkan dengan meningkatkan status Supersemar.

Kemudian dia juga butuh mandat secara politis supaya orang melihat dia sebagai pemimpin yang legitimate. Lewat apa? Ya, dengan menjadikan komunis sebagai musuh. Karena dia dianggap telah menumpasnya. Sehingga mandat dia itu muncul karena isu komunis ini. Karena dia sebagai orang yang dicitrakan sebagai penyelamat bangsa dari ancaman komunis itu.

Dia bukan pemimpin yang lahir karena pemilu. Nggak ada pemilu tahun 1967 di Indonesia. Baru ada lagi tahun 1971. Jadi, Orde Baru membutuhkan common enemy, yaitu PKI.

Selama 32 tahun Soeharto berkuasa, ingatan tentang PKI selalu difabrikasi sehingga setiap orang dihegemoni. Dengan cara itu orang bisa memberikan permakluman sekaligus legitimasi kepada pemerintahan Soeharto yang membuat negara ini terhindar dari ancaman komunisme yang mau merongrong Pancasila karena Soeharto yang menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.

Jadi, desukarnoisasi ini masih berlangsung dan ini juga menimbulkan pertanyaan. Seringkali desukarnoisasi ini muncul bersamaan dengan stigma komunis karena ujung dari peristiwa G30S itu adalah penjatuhan Sukarno. Setelah orang komunis habis ditangkap, orang-orang Sukarnosentris itu ditangkap juga karena yang mau disasar adalah kekuasaan dia. Ini menunjukkan mungkin ada upaya desukarnoisasi, upaya untuk menghilangkan peran Sukarno dari sejarah republik ini.

*(red)


×
Berita Terbaru Update