Gelombang penolakan semakin membesar, tidak hanya di daerah Jawa, riuh penolakan itu bahkan sejak jauh hari terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan.
Revisi UUK, Kenapa harus di tolak ?
Dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI), yang dikeluarkan pemerintah pada Mei 2011. MP3EI adalah salah satu dokumen pokok pembangunan pemerintah dan ditetapkan dengan Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2011. Dalam Abstrak MP3EI, disebutkan bahwa ‘Pihak swasta akan diberikan peran utama dan penting dalam pembangunan ekonomi terutama dalam peningkatan investasi dan penciptaan lapangan kerja, sedangkan pihak pemerintah akan berfungsi sebagai regulator, fasilitator dan katalisator.
Adapun di bidang perburuhan, salah satu upaya yang hendak dilakukan oleh MP3EI adalah memperbaiki regulasi ketenagakerjaan untuk mendukung dunia usaha. Dan apa yang dimaksud dengan diperbaiki demi dunia usaha ini dapat dilihat dari Rencana Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) No. 13 Tahun 2003, yang di usul APINDO (asosiasi pengusaha indonesia) dan mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah.
Itulah kenapa Negara dalam hal ini pemerintah memiliki kecenderungan untuk memprioritaskan kepentingan investor swasta dan berusaha menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi mereka, meski kondisi itu bertentangan dengan kepentingan kesejahteraan masyarakat, termasuk kaum buruh.
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menyampaikan relasi perekonomian dunia kini menginginkan pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel. Ia bahkan menyebut aturan ketenagakerjaan saat ini bak 'kanebo kering' yang tak hanya memberatkan dunia usaha, melainkan juga tak baik bagi iklim tenaga kerja di Indonesia.
Beberapa Pasal yang di Tolak oleh GERAK BURUH untuk di Revisi |
Kalau dirunut, ini adalah akibat dari tuntutan akan pasar tenaga kerja fleksibel (labour market flexibility), yang terus dipromosikan oleh Bank Dunia. Suatu strategi yang dianggap paling sesuai bagi kepentingan modal dalam menghadap kondisi perekonomian global yang semakin kompetitif dan liberal.
Hutang yang dimiliki oleh Indonesia menjadi faktor kunci bagi Bank Dunia untuk mendesak Indonesia menerima konsep tersebut.
Uraian yang terkenal mengenai sifat khusus fleksibilitas tenaga kerja, dipaparkan oleh Atkinson dalam bukunya yang berjudul“Flexibility, Uncertainly, and Manpower Management” dan “Changing Work Pattern: How Companies Achieve Flexibility to Meet New Needs”.
Ia menguraikan ada empat jenis sifat khusus fleksibilitas yang diterapkan perusahaan:
1. Fleksibilitas Numerik Eksternal
Penyesuaian jumlah tenaga kerja yang digunakan dengan ketersediaan tenaga kerja. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan buruh pada pekerjaan sementara atau jangka waktu tertentu dan aturan pemecatan yang longgar. Dimana pengusaha dapat melakukan perekrutan ataupun pemecatan sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
2. Fleksibilitas Numerik Internal
Dikenal juga sebagai fleksibilitas waktu kerja yang dapat dicapai dengan menyesuaikan jam kerja buruh dalam perusahaan. Misalnya penyesuaian jam kerja fleksibel (termasuk penerapan shift), jumlah jam kerja fleksibel (tidak dibatasi 40 jam seminggu), penyesuaian cuti melahirkan dan waktu lembur fleksibel (tidak dibatasi).
3. Fleksibilitas Fungsional
Fleksibilitas fungsional berarti buruh harus dapat ditempatkan di bagian yang berbeda dengan pekerjaan yang berbeda sesuai kebutuhan perusahaan. Namun hal ini tentu berkaitan erat dengan sistem manajemen perusahaan dan pelatihan kerja, sehingga sistem outsourcingmenjadi salah satu solusinya.
4. Fleksibilitas Upah
Upah buruh tidak ditentukan secara kolektif, melainkan individu dengan upah beragam sesuai kinerja individu. Sehingga biaya upah dan biaya lain untuk buruh dapat mencerminkan pasokan dan permintaan tenaga kerja.
Penerapan fleksibilitas tenaga kerja ini membawa banyak permasalahan bagi kaum buruh di Indonesia hari ini. Persoalan tidak adanya kepastian kerja dan upah murah berdampak pada angka kemiskinan yang terus meningkat. Syarat (kondisi) kerja yang fleksibel juga berdampak pada maraknya kecelakaan kerja terjadi di pabrik-pabrik.
Penentuan upah berdasarkan kinerja individu mendorong buruh semakin individualistis, meski pada kenyataannya, produk suatu perusahaan merupakan hasil kerja bersama, bukan kerja individu semata.
Kondisi ini adalah realita yang dihadapi gerakan buruh saat ini, bukan sekedar kecelakaan kerja yang diakibatkan kelalaian, bukan sekedar upah murah yang diakibatkan kelalaian pemimpin daerah (atau negara), melainkan strategi kapitalisme dalam mempertahankan dan memperbesar modal.
Kebijakan negara kini, nampak jauh dari cita-cita berbangsa dan amanat Konstitusi. Kesejahteraan sebatas iming-iming bagi rakyat terkhususnya buruh. Negara semakin di dikte karena ketidak mandiriannya, dan ketergantungnya terhadap modal asing.*(red)